Jumat, Oktober 24, 2008
Ternate Menuju Kota Jasa
KOTA Ternate merupakan pintu masuk dari Maluku Utara, memiliki luas wilayah 5.795,4 km2, dengan 95,67 % (5.544,55 km2) adalah perairan dan luas daratan hanya 4,33 % (250,55 km2). Terbentang pada enam (6) kecamatan dan 74 kelurahan, dengan delapan (8) pulau, yaitu Pulau Ternate, Hiri, Moti, Mayau, Tifure , Gurida, Maka dan pulau Mano. Berada pada posisi 0 derajat– 2 derajat Lintang Utara dan 126 derajat –128 derajat Bujur Timur.
Topografi Kepualauan Ternate berbukit-bukit dengan gunung berapi Gamalama yang masih aktif. Keadaan tanah mayoritas Rogusal di pulau Ternate, Hiri, dan pulau Moti, sisanya jenis tanah Resika. Kota Ternate sangat dipengaruhi oleh iklim laut, karena mempunyai tipe iklim propis yang terdiri dari dua musim (Utara-Barat dan Timur-Selatan) yang seringkali diselengi dua kali masa pancaroba setiap tahunnya, dengan curah hujan rata-rata 1500 – 2500 mm/tahun.
Ternate sejak berabad lampau, telah berintegrasi dengan berbagai peradaban dunia, seperti Cina, Eropa, Arab dan Gujarat. Perkembangan global, karakter kota Ternate dan sejumlah permasalah, maka dipertajam visi-misi membangun Kota Ternate. Menjadikan Ternate sebagai Kota Budaya Menuju Masyarakat Madani, dengan misi membangun Ternate menuju Kota Budaya, Kota Perdagangan dan Wisata serta Kota Pantai. Dalam rangka pelaksanaan visi-misi membangun Ternate tersebut, maka startegi Pembangunan Kota Ternate 2005-2010 yang kemudian diaplikasi dalam bentuk program dan kebijakan.
Selama kurang lebih 10 tahun Drs H. Syamsir Andili mempin kota ini (3 tahun sebagai walikota pada kota administratif –Februari 1995-1999, 5 tahun sebagai walikotamadya Ternate sejak 27 April 1999- 2005 dan 2005 sampai sekarang); sejumlah program pembangunan kota telah dilakukan.
Program-program tersebut merupakan bagian dari upaya mengaplikasikan visi-misi tersebut. Strategi Pembangunan Kota Ternate tersebut bertumpuk pada tiga aspek utama, yaitu aspek sosial-budaya, ekonomi dan aspek soasial. Ketiga aspek tersebut merupakan penggerakan utama percepatan pembangunan kota Ternate dengan tidak menyampingkan aspek-aspek lainnya karena aspek-aspek lain memiliki horizontal linkages dan vertical linkages.
Dalam rangka strategi pembangunan kota Ternate, terdapat tiga program utama, yakni steategi program pembangunan, program penunjang dan program khusus. Demikian juga dalam konteks dinamika kemajuan dan pertumbuhan kota saat ini telah menjadi kota multikultur, kota yang sangat beragam dengan berbagai suku/ etnis dan agama yang telah mendiami dan menjadi penduduk kota.
Perekonomian kota Ternate mengalami pertumbuhan positif, seiring dengan membaiknya situasi pascakonflik. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan secara signifikan lima tahun terakhir. Tahun 2008, diperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 8,23 % (data BPS) lebih besar dari tahun 2004 yang hanya sebesar 6,05 % atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sebesar 6,.60 % lebih baik dan bergerak naik pada 2006 sebesar 6,99 %. Lebih kecil dibanding pertumbuhan ekonomi 2007 yang terus meroket menembus 7,87 %.
Kondisi pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh kota Ternate yang merupakan pintu masuk Maluku Utara dengan sarana dan prasarana yang lengkap sehingga sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor unggulan. Wilayah perairan mencapai 95, 67 %, merupakan lahan potensial untuk menjadikan perikanan sebagai komoditi unggulan. Kota Ternate khususnya dan Maluku Utara umumnya, adalah penghasil utama cengkih dan pala serta hasil rempah lainnya.
Di sektor sarana dan prasarana, Pemkot Ternate terus berupaya membangun dan menata fasilitas umum kota guna peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota Ternate dan investor, Pemkot telah menyediakan fasilitas air bersih, kelistrikan serta fasilitas telekomunikasi dan kemudahan terhadap izin usaha di Kota Ternate.
Begitu mengurus izin usaha tidak perlu repot-repot, cukup ke Sistem Pelayanan Satu Atap (Simtap), urusan tersebut bisa selesai dalam waktu singkat asal sudah dilengkapi dengan persyaratan, karena sudah berada satu atap.
Peluang Investasi
KOTA Ternate memiliki sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang cukup memedai. Letak kota, jaringan transportasi laut (pelabuhan A. Yani), antarpulau (pelabuhan Bastiong, pelabuhan Dufa-Dufa) dan bandara Babullah yang didarati pesawat jenis Fokker maupun pesawat jenis Boing berbadan lebar dan Boing 737-300 serta prasarana dan sarana pendukung lainnya seperti hotel berbintang, super market, mall, bank sentral, bank komersial hingga biro perjalanan.
Sebagai salah satu kota besar di Maluku Utara, Ternate tidak terlepas dari permasalahan perkotaan seperti halnya kota lain di Indonesia. Infrastruktur perkotaan masih menyisahkan masalah. Permasalahan itu diantaranya, penyediaan sarana dan prasarana air bersih yang mampu melayani sekitar 15.000 pelanggan aktif atau 53-55 % dari jumlah pendnduk Kota Ternate.
Penyediaan listrik, dengan kapasitas terpasang 21.552 KW belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Ternate secara keseluruhan, permasalahan sampah kota, dengan keterbatasan alat angkut serta alat pengolahan sampah, penyediaan perumahan untuk masyarakat perkotaan, masalah kemacetan dan transportasi serta permasalahan pantai kota yang masih kotor.
Demikian halnya dengan masih rendahnya kualitas dan kuantitas jalan/trotoar. Arus jalan kurang, sehingga terjadi kepadatan lalu lintas pada kawasan tertentu. Pembangunan jasa dan perdagangan pada kawasan pasar. Dinamika pertumbuhan sektor jasa dan perdagangan masih terkonsentrasi pada kawasan tertentu sehingga menimbulkan kesemrawutan kota. Kedepan perlu pengembangan kawasan sentra ekonomi baru yang merata diberbagai kawasan sehingga tercapai keseimbangan pertumbuhan antar kawasan.
Perkembangan industri di Kota Ternate dapat dilihat dari jumlah kelompok industri yang ada dalam wilayah Kota Ternate serta jumlah investor yang masuk dan menanam modalnya di berbagai sektor ekonomi.
Perkembangan industri ini memunculkan sentra-sentra industri kecil yang memiliki ciri khas, di antaranya: kerajinan bambu, pengolahan ikan asap, industri roti dan makanan ringan, industri kecil pakaian jadi, industri kecil speed boat glass. Ternate sebagai Kota transit memiliki sarana dan prasarana penunjang yang lebngkap dan baik. Sebagai Kota Perdagangan dan merupakan kota terbesar di Maluku Utara, Kota Ternate secara kontinu dan intensif terus berupaya melengkapi sarana dan prasarana perkotaan.
Potensi pariwisata yang ada di kota Ternate meliputi obyek wisata alam (Danau Laguna dan Danau Tolire), pantai Sulamadaha, pantai Kastela, pantai Bobani Ici serta sejumlah pantai lainnya. Wisata budaya/wisata peninggalan sejarah (terdapat lima buah Benteng). Kedaton Kesultanan Ternate, Masjid Sultan Ternate, Jembatan Resident, Kuburan Sultan Babullah dan Kuburan Sultan Badaruddin II yang asal Palembang.
Seperti daerah Maluku Utara umumnya, corak pertanian Kota Ternate didominasi sektor tanama perkebunan, seperti kelapa, coklat, pala dan cengkih. Tanaman kultural ini menjadi perhatian khusus pemerintah kota. Buktinya, walikota mengangkat seorang penyuluh pertanian menjadi Camat Kota Ternate Tengah. Ternate dengan luas wilayah perairan 95,67 % mempunyai potensi perikanan yang tinggi. Plus hasil tangkapan dari nelayan kabupaten/kota sekitar kota Ternate yang melakukan transaksi di Kota Ternate.
Guna pengembangan potensi perikanan yang berkualitas, maka terbuka peluang investasi pada penyebarluasan rumpon, pemasaran produksi ikan segar, pengembangan dan penggunaan kapal motor penangkap ikan dengan kapasitas di atas 10 ton, pengembangan pabrik es (could storage) serta pembuatan pabrik pengolahan ikan.
Letak geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar Maluku Utara dan adanya pelabuhan ekspor menjadikan Kota Ternate sebagai tempat distribusi hasil pertanian seluruh kabupaten/kota di provinsi Maluku Utara, sehingga membuka peluang investasi dibidang pembangunan dan pengembangan terminal agrobisnis dan pembangunan pusat prosesing hasil pertanian secara terpadu dan modern.
Peluang investasi untuk sektor sarana dan prasarana diantaranya; pembuatan jaringan dan penyaluran air bersih swasta, kerjasama/swastanisasi terhadap persampahan kota, pembangunan kawasan-kawasan perumahan, pembangunan areal perparkiran serta swastaniasi masalah perparkiran kota, kerjasama dalam pengembangan kasawan kota baru, pembangunan pasar agrobisnis, pasar terpadu dan pembangunan industri wisata pantai.
Demikian halnya sebagai kota bersejarah, Ternate memiliki lima (5) benteng. Benteng-benteng tersebut belum dikembangkan secara optimal. Bahkan Ternate terkenal dengan pentai-pantainya yang indah. Hal ini terbuka peluang pengembangan kawasan wisata alam dan bahari.
Untuk sektor jasa dan perdagangan terbuka peluang bagi investor dalam menanamkan modalnya untuk pembangunan pusat perbelanjaan, pembangunan kawasan-kawasan mandiri perumahan bertipe, pembangunan industri pariwisata serta pembangunan kawasan pergudangan. Peluang investasi di bidng industri meliputi mendirikan pabrik pengolahan hasil perikanan dan pengolahan bambu.
Terkait dengan infrastruktur perkotaan, walikota Drs H. Syamsir Andili mengakui masih terdapat permasalahan yang membutuhkan pelayanan lebih lanjut, seperti air bersih, sampah dan penyediaan perumahan. Infrastruktur seperti kelistrikan pada jalur-jalur strategis telah dapat diterangi pada malam hari. “Insya Allah, tahun ini semua jalur jalan pada wilayah Kota Ternate telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penerangan jalan yang memadai,” janjinya.
Demikian pula untuk sarana dan prasarana jalan sementara ini diselesaikan penataan dan pembangunan ruas jalan baru, untuk mengurangi tingkat kepadatan dan kemacetan lalu lintas. “Begitu pula dengan fasilitas rambu lalu lintas saat ini telah mampu memenuhi kebutuhan,” tambah Syamsir.
Untuk infrastruktur jasa dan perdagangan menurut Syamsir terus dikembangkan, yang akan diikuti dengan pembangunan 1.000 kios untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana yang representatif bagi pedagang kaki lima (PKL). Tahap awal, akan dibangun beerkisar antara 600-700 kios untuk menekan kesemrawutanm kota. Pasar modern yang menggeliat mengepung pasar tradisional, walikota Syamsir Andili yakin kalau pasar tradisional punya konsumen sendiri. Konsumennya, kalangan menengah ke bawah. Sementara kalangan mengah ke atas konsumen pasar modern. Masalahnya, jika tidak mengalami perubahan baik bangunan maupun pelayanan, lambat laut kondisi pasar tradisional bakal ditingalkan pembeli dan konsumen yang beralih ke pasar modern.
Rubrik
profil daerah
Bangun Pulau Doi Tanpa Uang
Belum genap dua tahun menjabat camat, Rizal Hamanur telah merubah wajah Pulau Doi. Yang menarik, membangun jalan lingkar tanpa bantuan pemerintah.
LOLODA Kepulauan adalah sebuah daerah yang terletak paling utara pulau Halmahera. Sebelum dimekarkan menjadi kecamatan definitif, Loloda Kepualaun sempat diperebutkan dua pemerintahan kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Kabupaten halmahera Barat (Halbar). Namun setelah melalui proses panjang, Loloda Kepulauan yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau Doi dengan jumlah penduduk kurang lebih 8.000 jiwa ini akhirnya jatuh ke pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara.
Dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di wilayah pemerintahan Provinsi Maluku Utara, Loloda Kepulauan termasuk salah satu kecamatan yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang tak kalah dengan daerah-daerah lain. Sebut saja dibidang pertambangan, kecamatan Loloda Kepulauan tercatat memiliki biji mangan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, daerah ini juga menyimpan minyak mentah. Sementara dibidang pertanian, kecamatan yang memiliki kurang lebih 59 pulau-pulau kecil ini banyak menghasilkan tanaman tahunan seperti Cengkih, Coklat, Pala dan kelapa.
Kendati kecamatan ini tercatat unggul diberbagai SDA, namun dibidang pemerintahan masih mengalami banyak kendala terutama fasilitas pelayanan masyarakat. Nah, hal ini setidaknya disampaikan Kepala Kecamatan Loloda Kepulauan, Rizal Hamanur SH. Menurutnya, satu daerah pemekaran baru sudah pasti banyak mengalami berbagai kendala, terutama dibidang infrakstruktut dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Lantas bagaimana menjawab berbagai perangkat kebutuhan yang sangat mendesak itu? Alumnus Fakultas Hukum, jurusan Hukum Perdata Universitas Khairun (Unkhair) Ternate ini mengaku, untuk mengatasi persoalan minimnya perangkat pemerintahan kecamatan dan SDM, pihaknya terpaksa harus menggodok tenaga-tenaga administrasi meskipun itu sifatnya darurat atau sementara.
Untuk diketahui, pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini masih menggunakan rumah warga sebagai tempat perkantoran. Hal itu terjadi menyusul karena pembangunan permanen kantor Kecamatan sementara dalam proses membangun. Meski demikian, kondisi iru tidak serta merta dijadikan kendala dalam menata pembangunan daerah ini ke depan. “Saya tidak mungkin jadikan dua hal di atas sebagai kendala mendasar. Tapi, saya tetap optimis sambil membenahi dan menggodok SDM, sistem pemerintahan kecamatan tetap jalan, tegas Rizal Hamanur saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Dibidang program kerja, pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini terus melakukan koordinasi dengan semua kepala-kepala desa setempat untuk menginventarisir semua perangkat kebutuhan desa. Saat menerima masukan dari pemerintah desa melalui rapat koordinasi, pemerintah kecamatan langsung merespon-nya dengan membuat program-program kerja dengan menggunakan pola filosofi ‘Sasapu’ dan ‘Semut’. Atrinya menurut Rizal, kalau ingin membersihkan halaman rumah hanya dengan menggunakan sebatang lidi, itu sesuatu yang sangat tidak mungkin. Tapi, kalau banyak lidi yang diikat jadi satu, maka sudah pasti halaman rumah dengan mudah dibersihkan.
Sama halnya filosofi ‘Sasapu’. Folosofi ‘Semut’ juga demikian. Jika ingin membangun, maka diwajibkan untuk saling bahu membahu. Sebab tanpa bahu membahu sudah pasti pembangunan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Walhasil, program kerja kecamatan Loloda Kepulauan dengan menggunakan dua filosofi di atas sangat direspon masyarakat setempat. Hasilnya, saat ini pembangunan jalan lingkar kecamatan kurang lebih 80 persen selesai dikerjakan. Begitu juga rumah ibadah seperti Mesjid dan Gereja.
Menariknya, gebrakan-gebrakan yang dilakukan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan selama ini tanpa mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Padahal menurut Rizal, masyarakat sangat mendambakan uluran tangan dari pemerintah induk sebagai bentuk perhatian dan partisipasi mereka.
Menjawab soal seberapa jauh daya dukung mesyarakat terhadap program pemerintah kecamatan? Rizal mengatakan, hampir sebagian besar warga ikut merelakan halaman rumah dan bahkan lahan perkebunan mereka digusur tanpa mengharapkan ganti rugi dari pemerintah kecamatan. Soal itu, jelas Rizal sejauh ini masyarakat enggan dan tidak pernah mengajukan Complain. Bahkan masyarakat sendiri beranggapan selain ikut mendukung program pemerintah kecamatan, pun yang terpenting halaman rumah dan lahan kebun yang rela digusur itu betul-betul dipergunakan untuk kepentingan umum. “Saya sangat berterima kasih kepada masyarakat atas partisipasi mereka selama ini,” ucap Rizal.
Sementara kehadiran salah satu perusahaan tambang yakni PT. ELGA yang mendapat izin dari pemerintah pusat untuk kegiatan eksploitasi biji Mangan di desa Dama, kecamatan Loloda Kepulauan sudah kurang lebih 5 tahun ini, juga ikut menyumbangkan alat-alat berat untuk dipakai melakukan penggusuran jalan lingkar. Rizal sendiri mengaku, sebenarnya pembuatan jalan lingkar proses pembuatan jalan lingkar kecamatan Loloda Kepulauan ini sudah jauh sebelumnya. Hanya saja, menurutnya selama ini management lama PT. ELGA tidak menghiraukan kebutuhan san permintaan masyarakat. Nah, setelah pergantian General Manajer PT. ELGA yang lama ke Gunawan, barulah perusahaan memenuhi kewajiban sebagaimana permintaan masyarakat.
Menjawab soal target, Rizal tak mau muluk-muluk soal kapan selesai pembuatan jalan lingkar tersebut. Pasalnya, untuk menjawab persoalan tersebut paling tidak butuh responsitas pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Karena itu, Ia menghimbau kepada kedua pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten Halut untuk turut memberikan perhatian terhadap pelaksanaan pembangunan yang sementara berjalan di kecamatan. “Saya minta ada semacam kesadaran modern baik pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Halut untuk membuka mata hati agar pembangunan jalan lingkar harus segera selesai paling lambat tahun 2008,” pintanya.
Keinginan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan itu sepertinya segera terjawab. Sebab, Ir. Hein Namotemo, Bupati Halmahera Utara sendiri berjanji proses pengaspalan jalan lingkar kecamatan Loloda Kepualauan akan tuntas tahun 2008. Hal tersebut juga direspont pihak managemen PT. ELGA. Melalui General Managernya, Gunawan, menganggap jalan merupakan salah satu sarana yang paling vital. Selain berfungsi sebagai penghubung, juga merupakan multi fungsi. “Untuk mewujudkan harapan masyarakat, saya bersama pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan akan berkoordinasi dengan Bupati untuk segerah mendesak pemerintah pusat agar jalan lingkar Loloda Kepulauan tuntas tahun 2008,” ungkap Gunawan.
Selain jalan lingkar, dibidang kelistrikan (penerangan, red) saat ini pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan tengah berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Halmahera Utara. Realisasinya menurut Rizal, akan terlaksana pada 2008 ini. “Saya sangat mengharapkan agar PLN bisa mencakup hingga empat desa di Pulau Doi, cetus Rizal berharap.
Dibidang pelayanan kesehatan, PT. ELGA dibawah management lama tidak pernah memberikan kontribusi terhadap masyarakat lingkar tambang. Setelah pergantian managemen barulah direspont, dan rencana tiap desa mendapat uang sebesar Rp. 20 juta. Selain itu, perusahaan juga memberikan beasiswa kepada siswa-siawi di sejumlah sekolah daerah itu.
Terkait dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), semenjak dilantik hingga sekarang, Rizal enggan bicara soal keberhasilan seberapa jauh membangun daerah. Alasannya, tugas utama yang diembannya selama ini belum terlaksana sepenuhnya. Dengan demikian, ia berjanji 10 unit kantor pelayanan desa yang ada di kecamatan Loloda Kepulauan harus tuntas sebelum masa jabatannya selesai. Untuk diketahui, alokasi Dana Cadangan Umum (DCU) Provinsi Maluku Utara tahun 2007 lalu untuk Loloda Kepulauan, baru satu unit kantor pemerintahan desa dibangun yakni di desa Dedeta.
Sementara sisannya kata Rizal, pihaknya tetap akan koordinasi dengan pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Halmahera Utara sehingga tahun 2008 ini tuntas sesuai target pemerintah kecamatan. Begitu juga untuk dana subsidi desa, dimana tahun 2007 lalu sebesar Rp. 10 juta per desa, Rizal berjanji akan terus mengupayakan sedemikian rupa hingga mencapai impian sebagaimana diharapkan.
Komitmen membangun daerah seperti yang dilakukan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini layak dicontohi kecamatan-kecamatan lain di wilayah Provinsi Maluku Utara. Meski tidak didukung dengan fasilitas penunjang seperti mobil dinas atau speedboad untuk kelancaran tugas-tugas kedinasan, namun soal itu, Rizal sama sekali tidak menjadikan alasan untuk tidak berbuat. Padahal bagi Rizal, fasilitas pendukung itu sangat signifikan. “Saya berharap tahun 2008 ini kendaraan dinas itu sudah harus ada di Loloda Kepulauan, pintanya serius.
LOLODA Kepulauan adalah sebuah daerah yang terletak paling utara pulau Halmahera. Sebelum dimekarkan menjadi kecamatan definitif, Loloda Kepualaun sempat diperebutkan dua pemerintahan kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Kabupaten halmahera Barat (Halbar). Namun setelah melalui proses panjang, Loloda Kepulauan yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau Doi dengan jumlah penduduk kurang lebih 8.000 jiwa ini akhirnya jatuh ke pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara.
Dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di wilayah pemerintahan Provinsi Maluku Utara, Loloda Kepulauan termasuk salah satu kecamatan yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang tak kalah dengan daerah-daerah lain. Sebut saja dibidang pertambangan, kecamatan Loloda Kepulauan tercatat memiliki biji mangan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, daerah ini juga menyimpan minyak mentah. Sementara dibidang pertanian, kecamatan yang memiliki kurang lebih 59 pulau-pulau kecil ini banyak menghasilkan tanaman tahunan seperti Cengkih, Coklat, Pala dan kelapa.
Kendati kecamatan ini tercatat unggul diberbagai SDA, namun dibidang pemerintahan masih mengalami banyak kendala terutama fasilitas pelayanan masyarakat. Nah, hal ini setidaknya disampaikan Kepala Kecamatan Loloda Kepulauan, Rizal Hamanur SH. Menurutnya, satu daerah pemekaran baru sudah pasti banyak mengalami berbagai kendala, terutama dibidang infrakstruktut dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Lantas bagaimana menjawab berbagai perangkat kebutuhan yang sangat mendesak itu? Alumnus Fakultas Hukum, jurusan Hukum Perdata Universitas Khairun (Unkhair) Ternate ini mengaku, untuk mengatasi persoalan minimnya perangkat pemerintahan kecamatan dan SDM, pihaknya terpaksa harus menggodok tenaga-tenaga administrasi meskipun itu sifatnya darurat atau sementara.
Untuk diketahui, pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini masih menggunakan rumah warga sebagai tempat perkantoran. Hal itu terjadi menyusul karena pembangunan permanen kantor Kecamatan sementara dalam proses membangun. Meski demikian, kondisi iru tidak serta merta dijadikan kendala dalam menata pembangunan daerah ini ke depan. “Saya tidak mungkin jadikan dua hal di atas sebagai kendala mendasar. Tapi, saya tetap optimis sambil membenahi dan menggodok SDM, sistem pemerintahan kecamatan tetap jalan, tegas Rizal Hamanur saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Dibidang program kerja, pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini terus melakukan koordinasi dengan semua kepala-kepala desa setempat untuk menginventarisir semua perangkat kebutuhan desa. Saat menerima masukan dari pemerintah desa melalui rapat koordinasi, pemerintah kecamatan langsung merespon-nya dengan membuat program-program kerja dengan menggunakan pola filosofi ‘Sasapu’ dan ‘Semut’. Atrinya menurut Rizal, kalau ingin membersihkan halaman rumah hanya dengan menggunakan sebatang lidi, itu sesuatu yang sangat tidak mungkin. Tapi, kalau banyak lidi yang diikat jadi satu, maka sudah pasti halaman rumah dengan mudah dibersihkan.
Sama halnya filosofi ‘Sasapu’. Folosofi ‘Semut’ juga demikian. Jika ingin membangun, maka diwajibkan untuk saling bahu membahu. Sebab tanpa bahu membahu sudah pasti pembangunan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Walhasil, program kerja kecamatan Loloda Kepulauan dengan menggunakan dua filosofi di atas sangat direspon masyarakat setempat. Hasilnya, saat ini pembangunan jalan lingkar kecamatan kurang lebih 80 persen selesai dikerjakan. Begitu juga rumah ibadah seperti Mesjid dan Gereja.
Menariknya, gebrakan-gebrakan yang dilakukan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan selama ini tanpa mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Padahal menurut Rizal, masyarakat sangat mendambakan uluran tangan dari pemerintah induk sebagai bentuk perhatian dan partisipasi mereka.
Menjawab soal seberapa jauh daya dukung mesyarakat terhadap program pemerintah kecamatan? Rizal mengatakan, hampir sebagian besar warga ikut merelakan halaman rumah dan bahkan lahan perkebunan mereka digusur tanpa mengharapkan ganti rugi dari pemerintah kecamatan. Soal itu, jelas Rizal sejauh ini masyarakat enggan dan tidak pernah mengajukan Complain. Bahkan masyarakat sendiri beranggapan selain ikut mendukung program pemerintah kecamatan, pun yang terpenting halaman rumah dan lahan kebun yang rela digusur itu betul-betul dipergunakan untuk kepentingan umum. “Saya sangat berterima kasih kepada masyarakat atas partisipasi mereka selama ini,” ucap Rizal.
Sementara kehadiran salah satu perusahaan tambang yakni PT. ELGA yang mendapat izin dari pemerintah pusat untuk kegiatan eksploitasi biji Mangan di desa Dama, kecamatan Loloda Kepulauan sudah kurang lebih 5 tahun ini, juga ikut menyumbangkan alat-alat berat untuk dipakai melakukan penggusuran jalan lingkar. Rizal sendiri mengaku, sebenarnya pembuatan jalan lingkar proses pembuatan jalan lingkar kecamatan Loloda Kepulauan ini sudah jauh sebelumnya. Hanya saja, menurutnya selama ini management lama PT. ELGA tidak menghiraukan kebutuhan san permintaan masyarakat. Nah, setelah pergantian General Manajer PT. ELGA yang lama ke Gunawan, barulah perusahaan memenuhi kewajiban sebagaimana permintaan masyarakat.
Menjawab soal target, Rizal tak mau muluk-muluk soal kapan selesai pembuatan jalan lingkar tersebut. Pasalnya, untuk menjawab persoalan tersebut paling tidak butuh responsitas pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Karena itu, Ia menghimbau kepada kedua pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten Halut untuk turut memberikan perhatian terhadap pelaksanaan pembangunan yang sementara berjalan di kecamatan. “Saya minta ada semacam kesadaran modern baik pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Halut untuk membuka mata hati agar pembangunan jalan lingkar harus segera selesai paling lambat tahun 2008,” pintanya.
Keinginan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan itu sepertinya segera terjawab. Sebab, Ir. Hein Namotemo, Bupati Halmahera Utara sendiri berjanji proses pengaspalan jalan lingkar kecamatan Loloda Kepualauan akan tuntas tahun 2008. Hal tersebut juga direspont pihak managemen PT. ELGA. Melalui General Managernya, Gunawan, menganggap jalan merupakan salah satu sarana yang paling vital. Selain berfungsi sebagai penghubung, juga merupakan multi fungsi. “Untuk mewujudkan harapan masyarakat, saya bersama pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan akan berkoordinasi dengan Bupati untuk segerah mendesak pemerintah pusat agar jalan lingkar Loloda Kepulauan tuntas tahun 2008,” ungkap Gunawan.
Selain jalan lingkar, dibidang kelistrikan (penerangan, red) saat ini pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan tengah berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Halmahera Utara. Realisasinya menurut Rizal, akan terlaksana pada 2008 ini. “Saya sangat mengharapkan agar PLN bisa mencakup hingga empat desa di Pulau Doi, cetus Rizal berharap.
Dibidang pelayanan kesehatan, PT. ELGA dibawah management lama tidak pernah memberikan kontribusi terhadap masyarakat lingkar tambang. Setelah pergantian managemen barulah direspont, dan rencana tiap desa mendapat uang sebesar Rp. 20 juta. Selain itu, perusahaan juga memberikan beasiswa kepada siswa-siawi di sejumlah sekolah daerah itu.
Terkait dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), semenjak dilantik hingga sekarang, Rizal enggan bicara soal keberhasilan seberapa jauh membangun daerah. Alasannya, tugas utama yang diembannya selama ini belum terlaksana sepenuhnya. Dengan demikian, ia berjanji 10 unit kantor pelayanan desa yang ada di kecamatan Loloda Kepulauan harus tuntas sebelum masa jabatannya selesai. Untuk diketahui, alokasi Dana Cadangan Umum (DCU) Provinsi Maluku Utara tahun 2007 lalu untuk Loloda Kepulauan, baru satu unit kantor pemerintahan desa dibangun yakni di desa Dedeta.
Sementara sisannya kata Rizal, pihaknya tetap akan koordinasi dengan pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Halmahera Utara sehingga tahun 2008 ini tuntas sesuai target pemerintah kecamatan. Begitu juga untuk dana subsidi desa, dimana tahun 2007 lalu sebesar Rp. 10 juta per desa, Rizal berjanji akan terus mengupayakan sedemikian rupa hingga mencapai impian sebagaimana diharapkan.
Komitmen membangun daerah seperti yang dilakukan pemerintah kecamatan Loloda Kepulauan saat ini layak dicontohi kecamatan-kecamatan lain di wilayah Provinsi Maluku Utara. Meski tidak didukung dengan fasilitas penunjang seperti mobil dinas atau speedboad untuk kelancaran tugas-tugas kedinasan, namun soal itu, Rizal sama sekali tidak menjadikan alasan untuk tidak berbuat. Padahal bagi Rizal, fasilitas pendukung itu sangat signifikan. “Saya berharap tahun 2008 ini kendaraan dinas itu sudah harus ada di Loloda Kepulauan, pintanya serius.
Rubrik
berita
Maluku Utara : Menyambangi Potongan Surga di KTI
POTENSI pariwisata di Maluku Utara terutama dari peningggalan sejarah dan adat-istiadat--meliputi Kesultanan Moloku Kie Raha, Kesultanan Tidore di Soasio, Kesultanan Ternate di Kota Ternate, dan berbagai bentuk kesenian daerah.
Potensi wisata kelautan (bahari berupa pulau-pulau dan pantai yang indah dengan taman lautnya serta berjenis-jenis ikan hias. Potensi wisata alam di antaranya adalah batu lubang di Sagea Kecamatan Weda. Hutan wisata yang dapat diperuntukkan bagi kepentingan taman national di Lolobata kecamatan Wasile dan Aketajawe Kecamatan Oba memiliki spesies endemik ranking ke-10 dunia (sementara dalam proses perencanaan Bird Life oleh Bank Dunia).
Daerah Maluku Utara pada masa sebelum bangsa-bangsa Eropa datang di sekitar abad ke-16 telah mempunyai sistem pemerintahan kesultanan yang mengatur kehidupan politik, pemerintahan, sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Sistem pemerintahan Moloku Kie Raha (Ternate, Jailolo, Bacan dan Tidore) umumnya berjalan di atas partersip executive (bobato ngaruha = dewan empat) dan legislatif (bobato nyagimoi setufkange = dewan delapan belas sebagai unsur perwakilan, ditunjuk, dipilih Kimelaha Labuha, Kimelaha Tabona Walola).
Masyarakat Maluku Utara memiliki tata cara, adat-istiadat yang merupakan identitas kesatuan tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari 3 wilayah kultural yaitu, wilayah kultur Ternate yang meliputi Kepulauan Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan Sula. Wilayah kultur Tidore yang mencakupi Kepulauan Tidore dan Halmahera Tengah/Timur
Wilayah kultur Bacan yang meliputi Kepulauan Bacan dan Obi.
Kediaman suku bangsa yang mendiami daerah Maluku Utara yang berasal dari bangsa-bangsa Melanesia dan Polinesia terdiri dari kurang lebih 28 suku bangsa, antara lain Tobaru, Wayoli, Tobelo, Galela, Sahu, Modole, Togutil, Sawai, Buli, Bajo dan lain-lain. Bahasa daerah di Kepulauan Maluku Utara bervariasi, sedikitnya ada 29 bahasa daerah, dan untuk wilayah pulau-pulau bagian barat Halmahera tidak termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.
Setiap wilayah kultur selalu menggunakan bahasa kesatuan yaitu Bahasa Ternate, Tidore dan Bacan. Pada umumnya penduduk daerah Maluku Utara dapat memahami bahasa Ternate dan Tidore.
Daya kreatif masyarakat tetap ada meskipun proses infiltrasi budaya terjadi sejak masa lampau. Hal itu tampak pada dansa, lagu, siokona, anakona, dan seni suara daerah. Seni suara daerah, misalnya moro-moro, saluma, dingo, kabata ngofa bira, togap donci, tide, soya-soya, mara bose, dendang haisua, gala haisua, cakalele, sisi, waleng, lala dan sebagainya.
Maluku Utara ternyata menyimpan kekayaan dan keelokan alam serta beragam tempat bersejarah yang tak boleh dilewatkan. Obyek wisata di Provinsi Maluku Utara sangat beragam, seperti Wisata Alam, Bahari, Flora dan Fauna, Makanan Tradisional serta pantai-pantai yang cukup banyak dengan keunikan dan karateristik yang tak kalah menariknya dengan daerah lain.
Sebut saja pantai Tagalaya, Dorume dan Dodola di Halmahera Utara yang bagaikan anak gadis baru tumbuh dewasa. Eksotis. Selain objek tersebut, tak kalah menarik situs-situs peninggalan sejarah Kerajaan Islam serta budaya dan seni tradisional yang cukup banyak sehingga objek dan daya tarik parawisata tersebut bila dikembangkan dengan sistem promosi yang terpadu dan didukung dengan ketersediaan infrastruktur wilayah yang nantinya mempermudah akses bagi para wisatawan baik asing maupun lokal dengan demikian sektor ini pada saatnya dapat merupakan penyumbang pendapatan daerah.
Hamparan pulau-pulau dengan pasir putih dan kejernihan airnya yang berwarna kebiruan di Maluku Utara menggambarkan daerahnya ini bak sepotong surga di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hamparan pasir putih dengan air lautnya yang jernih berwarna kebiruan, menjadi pemandangan menakjubkan di hampir seluruh pulau-pulau yang ada di daerah itu. Saat singgah di pantai Domure, maka akan anda di perhadapkan pada hamparan pasir putih yang sangat halus dan berkilauan oleh sorotan mentari timur Indonesia. Kilauan itu disebabkan karena pasir putih di Domure mengandung biji besi.
Selain itu juga kita bisa menyaksikan ombak laut yang besar di Domure, sehingga bagi anda yang senang surfing, bisa datang ke pantai Domure di Halmahera Utara khususnya pada bulan Desember untuk dapat menikmati sapuan gelombang besar bersama papan surfing anda. Selain hamparan pantai berpasir putih, Maluku Utara juga memiliki beberapa telaga yang menawarkan keindahan panorama alam natural. Salah satunya Danau Duma. Begitu menginjakkan kaki di tepian danau ini, Anda akan melihat air yang begitu tenang dan jernih sehingga cocok untuk berenang, memancing atau pun mendayung.
Selain memiliki panorama yang sangat indah di tempat pariwisata ini juga anda bisa menikmati Hidangan Ikan Mujair Segar karena di Tepian Telaga Duma juga terdapat Kerambah Ikan Mujair. Selain Telaga Duma juga terdapat telaga lain yang salah satunya dinakaman dengan nama Telaga Biru dengan air yang sangat jernih dengan warna kebiruan. Di Telaga Biru ini, menurut legenda, jaman dahulu para bidadari dari khayangan sering mandi di telaga ini.
Keunikan di Telaga Biru ini, saat mata anda melihat setiap dedaunan yang jatuh ke tengah telaga selalu hanyut ke tepian, sehingga air telaga tetap jernih dan bersih. Buat anda yang gemar wisata bawah laut, anda harus datang ke pantai Tagalaya, Bobale dan Taman Laut Tobo-tobo. Ketiga tempat ini konon sering digunakan para wisatawan untuk kegiatan menyelam. Di sini anda juga sering dijumpai beberapa wisatawan asing yang sedang menikmati keindahan wisata bawah laut di Tagalaya. Anda dapat menyaksikan secara langsung keragaman biota laut yang asri di tambah dengan hamparan pasir putih dan panorama pohon bakau dengan merpati putih dan birunya. Bagi anda yang suka menyaksikan secara langsung berbagai peninggalan sejarah perang dunia kedua, anda wajib datang ke daerah Kao dan Galela. Menurut sejarah, dahulu Kao merupakan basis pertahanan pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Bekas peninggalan yang masih ada seperti empat meriam antik, dua bunker, landasan pesawat terbang, dan tiga kapal laut.
Sedangkan di desa Pule kecamatan Galela juga terdapat peninggalan perang dunia kedua antara lain dua meriam dan juga landasan pesawat. Di desa Samuda kecamatan Galela Barat, anda dapat melihat sebuah bunker peninggalan Jepang yang masih berdiri kokoh. Masih ada banyak lagi tempat-tempat menakjubkan yang bakalan memacu decak kagum kita setiap kali melewati atau singgah di pulau-pulau di Maluku Utara.
Anda tentu pernah mendengar tentang Morotai. Untuk sampai ke Morotai, jika terbang dari Jakarta diperlukan waktu sekitar tujuh jam, setelah transit di Makasar, anda akan singgah terlebih dahulu di Ternate, ibukota provinsi Maluku Utara. Jika kesulitan melanjutkan perjalanan Ternate–Morotai dengan pesawat terbang, tersdia jalur darat yang kemudian dilanjutkan dengan speedboat melewati Selat Morotai.
Sekilas, perjalanan ini akan sangat melelahkan. Tapi anda tak perlu khawatir mengingat keindahan alam yang bertebaran di antero Maluku Utara, kelelahan itu dengan mudah terbayarkan. Sampai di Morotai, anda akan melihat langsung lapangan terbang dengan tujuh run way peninggalan sejarah dan saat ini hanya satu run way yang dibangun. Disekitar 24 kilometer selatan Daruba, ibukota kecamatan Morotai Selatan, anda bakal sampai di Pulau Sumsum, salah satu areal tempat tinggal McArthur saat berada dalam situasi genting. Di dekat dermaga kayu pulau ini terlihat sisa ponton-ponton Sekutu, walaupun sudah mengalami kerusakan akibat perjalanan waktu pemandangan ini menjadi begitu beda dan unik.
Terlebih saat berjalam beberapa kilometer masuk ke pedalaman pulau, ada sebuah gua yang konon disediakan sebagai tempat persembunyian McArthur.Tak jauh dari situ, terdapat Pulau Dodola dengan air laut yang jernih memamerkan padang rumput laut dan karang-karang elok yang bisa membuat para pendatang jadi malas pulang. Dodola terdiri dari dua daratan yang dihubungkan dan dikelilingi hamparan pasir putih. Ketika air laut pasang, pulau ini tampak terbagi dua menjadi Dodola Kecil dan Dodola Besar. Ketika surut, pasir putih menjadi "jembatan" indah yang membelah dua perairan.
Ada yang menyebut, Dodola merupakan "tempat McArhur berekreasi". Situasi berubah jadi janggal. Seperti janggalnya membayangkan sumber mata air di Morotai, yang kini disebut Air Kaca karena kejernihannya, sebagai "tempat mandi McArthur".
Obyek tujuan wisata yang bisa ditemui di Maluku Utara bukan hanya sampai disini, tetapi masih puluhan lokasi lain yang tetap memikat, lengkap dengan jenis-jenis kesenian tradisional yang relatif terpelihara.
Berada di Kepulauan Maluku Utara, nuansa eksotika laut kawasan timur Indonesia terasa begitu kental. Banyak yang menyebut, bentangan nusa ini bak nirwana di tepian Samudera Pasifik. Sebagai bagian dari gugusan kepulauan Maluku Utara, sudah sejak lama dikenal memiliki pemandangan kehidupan bahari yang sangat memesona. Tak heran jika keindahan ini mengundang banyak wisatawan nusantara dan mancanegara untuk datang kesana menikmati.
Laut di Kepulauan Maluku Utara umumnya sangat kaya akan ragam biota. Kehebatan lukisan alam, aneka flora dan fauna hadir di bersama berbagai jenis spesies ikan warna-warni dan hewan laut. Bahkan tanpa menyelam, berbagai jenis mahluk karang dapat dinikmati dari permukaan laut Maluku Utara yang biru dan jernih. Keindahan taman laut yang disertai hangat pancaran sinar mentari terasa lengkap untuk dinikmati oleh siapa saja yang mencintai keindahan alam.
Potensi pariwisata di Maluku Utara juga meliputi peningggalan sejarah dan adat-istiadat, budaya dan berbagai bentuk kesenian daerah. Bahasa daerah di Kepulauan Maluku Utara bervariasi, sedikitnya ada 29 bahasa daerah, dan untuk wilayah pulau-pulau bagian barat Halmahera tidak termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Maluku Utara terus mengintensifkan promosi wisata yang ada di daerah itu, di antaranya melalui penyebaran brosur mengenai potensi wisata disana. "Promosi potensi Wisata, kita sebar melalui pengusaha biro perjalanan di kota-kota besar di Indonesia serta melalui perwakilan Indonesia di luar negeri," ujar Arief Armaiyn, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Maluku Utara pada suatu kesempatan pada KORIDOR.
Melalui penyebaran brosur mengenai potensi wisata ini, diharapkan wisatawan domestik dan mancanegara dapat memperoleh informasi yang lengkap dan menarik tentang potensi wisata Maluku Utara.
Menurut Arief, potensi wisata Maluku Utara yang dipromosikan melalui brosur itu, meliputi potensi wisata bahari, budaya dan alam. Khusus potensi wisata bahari, yang dipromosikan adalah objek wisata pantai Guraici, Pulau Zum-Zum, Pulau Dodola, Pantai Pantai Luari, pantai Manaf serta pantai Wai Ipa.
Obyek-obyek wisata pantai itu, dipastikan akan diminati wisatawan, karena sangat indah. Selain memiliki pasir putih yang pada saat air surut mencapai ratusan meter, juga di perairan sekitarnya terdapat kawasan terumbu karang yang sangat indah.
Hubungan transportasi dari dan ke daerah itu sangat lancar, baik melalui transportasi laut maupun udara. Khusus melalui transportasi udara, hampir seluruh daerah kabupaten/kota di Maluku Utara dapat dijangkau.
Sedangkan transportasi laut, hampir setiap kapal-kapal ukuran sedang dan speadboat dapat melayari daerah-daerah itu. Bahkan kini telah sebuah hotel bintang empat Amara Hotel Bela International telah ada di Kota Ternate. Meski begitu Pemda Maluku Utara sangat mengharapkan kehadiran investor untuk membangun hotel berbintang, termasuk untuk mengelola potensi wisata yang ada di daerah itu. Pemda akan memberikan berbagai kemudahan kepada investor yang bersedia menanamkan modal di Maluku Utara," ujar Arief.
Maluku Utara termasuk provinsi baru di kawasan Timur Indonesia. Ia merupakan pemekaran provinsi Maluku berdasarkan UU No.46 Tahun 1999. Usia boleh muda, tetapi peran dalam sejarah dunia perlu diperhitungkan. Salah satu wilayah yakni Pulau Morotai pernah ikut andil dalam sejarah Perang Dunia II. Pulau Morotai, menjadi saksi bisu dalam pertempuran antara tentara Jepang dan sekutu yang dikomandani Amerika Serikat. Pada zaman Perang Dunia II, pulau ini menjadi pangkalan militer pasukan Amerika Serikat.
Sisa-sisa peninggalan perang, seperti meriam, benteng, dan senapan, masih dapat dijumpai di pulau ini. Namun, sayang, sisa-sisa peninggalan itu sudah jarang ditemui karena oleh masyarakat setempat barang tersebut dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Rongsokan senjata dilebur menjadi kerajinan besi putih yang dihiasi mutiara.
Lokasi peninggalan Perang Dunia (PD) II ini berpotensi menjadi tempat pariwisata unggulan. Sampai sekarang, ada beberapa mantan tentara PD II yang bernostalgia mengenang keterlibatan mereka di Halmahera. Peninggalan PD II di antaranya Pulau Sum-Sum tempat persembunyian Jenderal Douglas MacArthur, panglima perang tentara Sekutu, dan Pulau Bobale di Kecamatan Kao.
Sebagai daerah kepulauan, Morotai, Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi pariwisata bahari. Gugusan Pulau Dodola, Kokoya, Ngele-Ngele di Kecamatan Morotai memiliki pantai pasir putih, ikan hias, dan terumbu karang. Wisata pantai terdapat di Pantai Kupa-Kupa di Kecamatan Tobelo Selatan, Pantai Luari di Kecamatan Tobelo. Telaga Duma dan Telaga Makete di Kecamatan Galela, Telaga Lina di Kecamatan Kao, dan Telaga Paca di Kecamatan Tobelo. Bagi penggemar olahraga selam, Pulau Morotai memiliki taman laut yang indah untuk dinikmati. Namun, sampai saat ini potensi pariwisata bahari di Halmahera Utara belum dikelola dengan baik.
Selain potensi pariwisata, potensi utama Kabupaten Halmahera Utara diperoleh dari perkebunan dan jasa. Penduduk Halmahera Utara bergantung pada pertanian, terutama perkebunan kelapa dan cengkeh. Luas areal perkebunan kelapa tahun 2007 sebesar 47.900 hektar dengan produksi 68.500 ton. Kecamatan Tobelo, Tobelo Selatan, dan Galela paling banyak menghasilkan komoditas kelapa.
Pengolahan kelapa selama ini terbatas pada produk kopra. Produk dalam bentuk kopra dibawa ke Surabaya melalui Pelabuhan Tobelo. Di sana komoditas ini diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa.
Rempah-rempah seperti cengkeh juga menjadi andalan. Sepertiga luas areal dan produksi cengkeh di Maluku Utara disumbang oleh Kabupaten Halmahera Utara. Kecamatan Morotai Selatan, Malifut, dan Kao merupakan produsen terbesar di Halmahera Utara. Pada tahun 2006 areal tanaman cengkeh 2.667 hektar dengan produksi 494 ton.
Sebanyak 78 persen wilayah Halmahera Utara terdiri atas perairan. Oleh karena itu, potensi perikanan wilayah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Lokasi strategis penangkapan ikan berada di perairan Tobelo, Tobelo Selatan, Morotai, Teluk Kao, dan Laut Maluku Utara. Jenis ikan yang terdapat di perairan Halmahera Utara di antaranya pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunus spp), layaran (Isthiophorus spp), dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis pelagis kecil juga banyak dijumpai, seperti ikan layang, kembung, teri, selar, dan julung-julung. Jenis ikan demersal seperti kakap merah, pisang-pisang, baronang, dan jenis ikan ekonomis tinggi seperti kerapu sunu dan kerapu bebek juga banyak dijumpai dari hasil tangkapan nelayan Halmahera Utara.
Komoditas perikanan lain seperti kepiting kenari, cumi-cumi, mutiara, dan ubur-ubur atau lebih dikenal dengan nama jelly fish banyak dijumpai di perairan Teluk Kao. Di perairan Morotai, nelayan banyak mendapatkan lobster bambu, batik, dan mutiara. Rumput laut, teripang pasir, teripang lotong, dan teripang hitam juga sering dijumpai.
Produksi perikanan Kabupaten Halmahera Utara tahun 2006 sekitar 16.700 ton. Kecamatan Tobelo dan Tobelo Selatan paling besar menyumbang produksi perikanan ini. Produk perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal maupun bahan baku industri caning di beberapa daerah di luar Kabupaten Halmahera Utara, seperti Manado dan Jakarta.
Pengapalannya dilakukan di Pelabuhan Tobelo untuk didistribusikan lebih lanjut ke daerah lain. Ada pula yang sampai dikapalkan ke Jepang. Kabupaten Halmahera Utara juga memiliki potensi pertambangan. Nusa Halmahera Mineral (NHM), sebuah perusahaan pertambangan emas, sudah sejak tahun 1990-an melakukan eksploitasi emas di daerah Kao dan Malifut. Di kecamatan Loloda Utara, tepatnya di Pulau Doi, juga terdapat eksploitasi mangan.
Kabupaten Halmahera Utara juga memiliki potensi pertambangan. Nusa Halmahera Mineral (NHM), sebuah perusahaan pertambangan emas, sudah sejak tahun 1990-an melakukan eksploitasi emas di daerah Kao dan Malifut. Keberadaan perusahaan ini bagi daerah setempat dirasakan terutama pada program pembangunan masyarakatnya. Setiap tahun NHM memberikan dana Rp 2 miliar untuk menjalankan program ini. Di kecamatan Loloda Utara, tepatnya di Pulau Doi, juga terdapat eksploitasi mangan.
Pembangunan prasarana pemerintahan dan penyusunan struktur organisasi masih menjadi fokus utama Halmahera Utara, sampai-sampai aparat pemerintah masih menomorduakan promosi potensi daerah.
Selain obyek Pulau Morotai, salah satu pulau di Maluku Utara yang gambarnya bisa dilihat sehari-hari pada lembaran uang seribu rupiah yakni Pulau Maitara. Pulau Maitara letaknya hanya 30 menit dengan menggunakan speed boat dari Ternate, ibukota Provinsi Maluku Utara.
Untuk menjangkau pulau Maitara, hanya menyewa spead boat yang saban hari parkir di pelabuhan Bastiong Ternate. Hanya dengan Rp 20 ribu per orang PP, spead boat bisa mengantar, kemudian menjemput kembali sesuai waktu yang disepakati. Jarak Ternate-Maitara hanya dapat ditempuh dengan sekitar 5 menit, maka para pengunjung tak perlu khawatir. Sebelah Timur terdapat Pulau Tidore
Pulau ini memiliki air lautnya masih jernih, karena jernih pengunjungi bisa melihat ikan-ikan kecil berwarna biru berenang disana sini. Pantainya masih alami, dan dijejeri perahu-perahu ketinting di pantai milik nelayan serta bangku-bangku semen yang diatapi.
Di pesisir pantai, sebagian tertanami pohon bakau, pantainya nyaris sama.
Jika tertarik ke Maluku Utara, rencanakan perjalanan anda menyibak keelokan alam nusantara. Anda tak perlu khawatir, di Maluku Utara keamanan, kenyamanan serta kedatangan anda akan menjadi prioritas utama. Maluku Utara bukanlah Ambon seperti yang anda lihat ditayangan-tayangan televisi. Menyambangi Maluku Utara, sama seperti Anda menyambangi sebuah Surga di Kawasan Timur Indonesia.
Rubrik
profil daerah
Hutan Lindung Tak Terlindung
Kawasan hutan di Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara kini nyaris dibabat habis. Bahkan kawasan hutan lindung pun ikut babat. Pemda setempat ikut mensupport?
HUTAN di pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, kini disoal sejumlah elemen masyarakat dan (LSM) setempat. Pasalnya, sejumlah titik-titik kawasan hutan tertentu di daerah itu ditengarai telah dirusak akibat penebangan secara besar-besaran oleh salah satu perusahaan kayu di Maluku Utara.
Tapi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan berpendapat lain. Ekspoloitasi hutan disatu sisi dijadikan dalih untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disisi lain, Pemda setempat seolah menutup mata saat merebak informasi yang menyebutkan kawasan hutan yang dibabat itu masuk dalam areal hutan lindung. Perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan itupun seolah tak peduli. Yang penting bagi mereka, bisa mendapatkan kayu serta tak dirongrong pemda setempat terkait izin perolehan hasil hutan.
Lebih parah lagi, sejumlah titik hutan yang telah ditetapkan pemerintah daerah lewat Departamen Kehutanan RI sebagai penyanggah erosi atau lazim disebut hutan lindung pun, diduga telah dirusak dan tak luput dari sentuhan gergaji mesin yang beroperasi dari tahun ke tahun hingga kini nyaris digunduli.
Akibatnya, saat turun hujan, pohon-pohon yang menjadi penyangga banjir tak lagi berdiri kokoh mengawal derasnya aliran air. Praktis, sesuai filosofinya, air dibiarkan bebas menerjang dan meluluh lantahkan areal sekitar hutan menuju muara dimana hakekat air itu berada. Tak ketinggalan, lokasi di sekitar hulu hingga hilir sungai mengalami nasib sama, terutama kawasan perkebunan warga.
Saat desakan masyarakat, LSM, dan pemerhati lingkungan merebak, barulah dibuat tim terpadu untuk turun lokasi yang ditengarai telah dirusak selama bertahun-tahun itu. Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Selatan seakan menutup mata, bahkan mati-matian membela perusahaan yang secara terang-terangan menggunduli hutan lindung itu. Setelah ramai disuarakan media massa, barulah tergerak hati para pengambil kebijakan di sektor ini untuk melakukan langkah-langkah instruktif. Sementara kayu yang ada di hutan ini sudah habis dibabat.
Sebelumnya, tersiar ramai di publik tiga kawasan berbukit yang masuk dalam blok hutan lindung yang terletak di desa Kapitusang Kecamatan Bacan Barat Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, diduga telah dibabat habis. Kawasan tersebut diantaranya, gunung Be, gunung Jere, dan gunung Nangka, yang sesuai pengakuan masyarakat setempat, jelas-jelas masuk dalam kawasan hutan lindung.
Tim gabungan terpadu yang beranggotakan unsur Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara pun dibentuk, dan langsung diterjunkan ke lokasi penebangan saat merebak informasi hutan lindung dirusak.
Kawasan hutan yang rencananya dikunjungi tim terpadu sesuai rapat koordinasi bersama meliputi tiga kawasan yang berada di desa Kapitusang Kecamatan Bacan Barat, dan beberapa desa lain yang terletak di bagian utara dan timur lingkar pulau Bacan. Namun salah satu sumber Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Halmahera Selatan mengaku, tim gabungan ini hanya turun sampai di kawasan tiga gunung yang berada di desa Kapitusang Kecamatan Bacan Barat. Atau hanya sampai pada batas kawasan Poang.
Sementara lebih kurang tiga lokasi lain di luar desa Kapitusang, seperti Desa Nyonyifi, Kaireu, dan Desa Sabatang yang terletak di kawasan Bacan Timur, tim terpadu tak sempat menginjakkan kaki ke sana. Saat dikonfirmasi soal hutan di desa Nyonyifi, Kaireu, dan Sabatang, masuk dalam blok hutan lindung atau tidak, sumber ini mengaku tak mengetahuinya secara pasti. Hal ini lanjut sumber, pada saat tim gabungan yang diterjunkan tak sampai ke tiga lokasi desa tersebut.
Untuk memastikan tiga desa di Bacan Timur terjadi aktifitas penebangan, pada awal Okotober lalu, KORIDOR sempat mengunjungi desa Nyonyifi. Begitu tiba di lokasi, tampak sebuah kapal tongkang berlabuh tepat depan pelabuhan kamp perusahaan yang sudah syarat dipenuhi kayu bulat di atasnya, dan siap untuk diberangkatkan entah kemana.
Tongkang yang sudah penuh dengan kayu itu sesuai pengakuan Manager kamp perusahaan desa Nyonyi, berkisar 3.200 meter kubik kayu berbagai jenis. Dengan demikian, tentu lokasi hutan yang berada di desa Nyonyifi secara terus-menerus dilakukan penebangan hingga kini. Karena tongkang yang sudah dipenuhi kayu itu termasuk proses pemuatan yang sudah kesekian kalinya.
Apalagi, jarak antara kamp perusahaan dan kawasan hutan yang ditebang sesuai penuturan salah seorang tenaga administrasi di bagian kamp, berkisar lebih kurang hanya lima kilometer. Sebuah jarak yang cukup dekat dengan garis pantai. Bila hutan di kawasan ini terus-menerus dieksploitasi tanpa mengindahkan aturan dan ketentuan yang berlaku pada Departemen dan Dinas Kehutanan, maka tunggulah kehancurannya.
Mengingat, desa-desa yang berada di kawasan ini memiliki sungai. Dan bila terjadi banjir, maka semua desa yang terletak di sekitar sungai praktis terancam. Seperti sudah pernah terjadi di desa Koititi Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan, dan beberepa desa lain dalam lingkup wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara beberapa bulan lalu.
Ridwan Mahmud, Amd., SE, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Selatan sempat dikonfirmasi melalui short masagge service (SMS) terkait penebangan di kawasan Bacan Timur ini memberi alasan lewat pesan pendeknya, bahwa ia sedang berada di luar daerah. Setelah itu telepon selulernya dimatikan, dan tak sepatah katapun dilayangkan untuk mengkonfirmasi balik. Hal yang sama juga terjadi saat KORIDOR bertandang ke kantor perusahaan yang mengeksploitasi kayu hutan di desa Nyonyifi.
Manager Operasional perusahaan yang berkantor tepat bersebalahan jalan dengan gudang Bimoli Ternate itu, urung dipertemukan pihak personalianya dengan media ini. Perusahaan memberi alasan, sang manager hendak berangkat ke luar daerah sejam lagi. “Bapak akan berangkat, belum bisa diganggu. Lain kali saja”, tutur sang receptionis singkat.
Mencuatnya kasus penebangan hutan secara besar-besaran di Kabupaten Halmahera Selatan yang diduga illegal ini juga, sempat direspon tegas oleh salah seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) asal Maluku Utara H. Sujud Sirajuddin, SH. Ditemui di restoran Florida beberapa waktu lalu, Sujud memaparkan bahwa, dugaan terjadinya kasus illegal loging di Kabupaten Halmahera Selatan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak kepolisian dan Dinas Kehutanan baik Provinsi maupun Kabupaten..
Selain itu, modus melakukan praktek illegal loging ini juga beragam. Sujud sempat memberi sample APL. Mestinya diperuntukan perkebunan, namun kecenderungan yang terjadi justru kayunya diambil, tapi kebun-nya tidak pernah jadi. “Inikan merupakan suatu bentuk pelanggaran, atau modus baru terhadap praktek-praktek illegal loging. Dan mestinya, para Kepala Dinas Kehutanan itu harus bertanggung jawab terhadap hal-hal seperti ini”, terang Sujud tegas.
Dengan kasus-kasus tersebut menurut Sujud, tampaknya para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten tidak tertib melakukan tata usaha kayu. Dan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek illegal loging, seharusnya pihak Dinas Kehutanan juga harus melakukan audit legal.
Terkait hutan lindung di Halmahera Selatan yang diduga telah dibabat habis para pengusaha kayu, Sujud mengatakan, bahwa untuk menebang hutan lindung sesuai Undang-undang Nomor 41, harus membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, melalui permintaan Menteri Kehutanan. “Jadi misalnya bila ada hutan lindung yang diduga ditebang tanpa melalui prosedural sesuai Undang-undang, maka Kepala Dinasnya harus ikut ditangkap”, tegas Sujud.
Rubrik
berita
Ketika Wakil Bupati Dinonaktifkan DPRD
Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara dinonaktifkan DPRD setempat. Dasar hukumnya, pendapat pribadi Ketua Pengadilan Negeri Labuha.
PENONAKTIFAN Wakil Bupati Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara Ridwan Sahlan, SH, membuat gempar semua pihak di daerah itu, bahkan hingga ke seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara. Betapa tidak, DPRD daerah setempat yang kewenangannya hanya sebatas monitoring, legislasi dan anggaran dinilai telah bertindak diluar batas kewenangan.
Persoalan yang menjadi pemicu hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Sula mengeluarkan keputusan kontroversial itu lantaran pendapat ketua Pengadilan Negeri Labuhan, Kabupaten Halmahera Selatan. Bahwa Ridwan Sahlan dianggap melanggar sumpah/janji karena memberikan dana kepada para demostran.
Pelanggaran yang dituduhkan dewan ini sebenarnya jika ditilik tak terlalu beralasan kuat. Mengingat belum ada keputusan jelas dari pengadilan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum tetap. Inti permasalahanya hanyalah soal surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha I. Gab Komang Wijaya Adhi, SH., MH. Surat bernomor : W28-U3/320/UM.01.1/IV/2007, tanggal 19 April 2007. Isinya, memberi penjelasan kepada Bupati Kepulauan Sula H. Ahmad Hidayat Mus, SE., perihal para terpidana kasus kerusuhan Sanana pada 26 Oktober 2006 lalu.
Surat Ketua PN Labuha itu juga merupakan balasan surat Bupati Hidayat Mus. Karena sebelumnya, Bupati pernah mengirimkan surat ke Ketua PN Labuha bernomor : 009/091/2007, tertanggal 11 April 2007. Isi surat Bupati itu meminta penjelasan Ketua PN Labuha atas perkara para terpidana terkait kasus kerusuhan. Ketua PN pun langsung membalas surat Bupati dengan sejumlah keterangan yang kemudian dinilai sejumlah kalangan sangat kontroversial, selain mengutip sedikit muatan materi memori putusan pengadilan.
Namun yang menjadi polemik diberbagai kalangan terutama praktisi hukum, adalah surat balasan tersebut juga memuat pendapat pribadi Ketua PN Labuha yang salah satu poin sub judulnya berbunyi “Pendapat Ketua Pengadilan Negeri” yang menyebut tujuh orang terpidana ditengarai sebagai aktor intelektual kasus kerusuhan pada 26 Oktober 2006. Dasar dari pendapat Ketua PN Labuha ini mengutip keterangan para terdakwa dan saksi yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Labuha. Hasilnya tertuang dalam memori putusan pengadilan. Dari tujuh orang yang disinggung dalam surat Ketua PN Labuha itu, salah satunya adalah Ridwan Sahlan, SH., yang juga wakil bupati sekarang.
Kesalahan keenam dari tujuh orang ini sebagaimana dimaksud Ketua PN Labuha, adalah secara emosional memiliki kedekatan dengan para terdakwa kerusuhan. Sementara Ridwan Sahlan disebut-sebut pernah mengucurkan dana kepada sebuah organisasi lokal di Sula yang terkenal lantang menyuarakan perang terhadap korupsi, yakni Aliansi Pemuda Sula (APS). Pernyataan ketua PN Labuha ini dituangkan pula dalam surat balasannya kepada Bupati.
Pendapat Ketua PN Labuha ini memunculkan beragam komenar. Salah seorang praktisi hukum Muhammad Konoras, SH menilai, pernyataan pribadi Ketua PN Labuha tak layak dimunculkan.
Menurutnya, walau tak secara langsung disebut pendapat hukum, namun pernyataan yang dilontarkan Ketua PN Labuha bisa memicu beragam penafsiran. “Apalagi kapasitasnya selaku Ketua Pengadilan Negeri. Tentu imbasnya sangat fatal, selain statement yang dilontarkan sudah berada di luar memori putusan pengadilan”, terangnya.
Ditengah mencuatnya polemik mempersoalkan surat Ketua PN Labuha, secara diam-diam DPRD Kabupaten Kepulauan Sula langsung merespon dan menggelar rapat paripurna. Buntut rapat tersebut telah menelorkan sebuah keputusan yang secara aklamasi menonaktifkan Wakil Bupati Ridwan Sahlan, SH.
Lucunya, sang Wakil Bupati tak diundang dewan saat paripurna berlangsung. Yang hadir saat itu Bupati Hidayat Mus. Mengingat Hidayat Mus selain sebagai Bupati, juga dirinya selaku Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Kepulauan Sula.
Wakil Bupati Ridwan Sahlan SH., saat dihubungi via hand phone-nya, menyatakan heran. Menurutnya, atas dasar apa dewan melakukan langkah impach terhadap dirinya selaku Wakil Bupati. Sementara surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha sifatnya hanyalah surat biasa.
Selain itu tambah Ridwan, tuduhan yang dialamatkan pada dirinya belum melewati proses pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Tiba-tiba dewan melakukan langkah impachman. “Kan aneh ini. Akhirnya keputusan dewan ini memicu keresahan di kalangan masyarakat Sula secara keseluruhan”, papar Ridwan tegas.
Komentar keras juga terlontar dari M. Husni Sapsuha, anggota presidium yang membidangi informasi dan komunikasi (Infokom) Aliansi Pemuda Sula (APS). Menurutnya, langkah dewan memberhentikan Wakil Bupati adalah sebuah kesalahan besar dalam sejarah pemerintahan di Indonesia khususnya di Kabupaten Kepulauan Sula.
Menurut Edo—sapaan akrab Husni Sapsuha, aturan mana yang dipakai dewan melakukan impachman terhadap Wakil Bupati, serta apa kewenangan dewan menonaktifkan wakil bupati.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang pengangkatan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah memberi isyarat, bila seorang Bupati/Wakil Bupati atau Walikota /Wakil Walikota dianggap melanggar sumpah janji jabatan, maka Dewan selaku lembaga monitoring dan legislasi, hanya sebatas mengajukan kasus tersebut ke Presiden secara tertulis melalui putusan Mahkamah Agung (MA). Barulah keluar keputusan penonaktifan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan DPR.
“Itupun harus melalui putusan pengadilan terlebih dahulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Undang-undang mana yang digunakan dewan. Bagi saya, DPRD Sula baru melek (baru melihat Undang-undang-red)”, sodok Edo. Yang pasti, langkah ini memicu keresahan masyarakat kabupaten paling selatan provinsi Maluku Utara itu.
PENONAKTIFAN Wakil Bupati Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara Ridwan Sahlan, SH, membuat gempar semua pihak di daerah itu, bahkan hingga ke seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara. Betapa tidak, DPRD daerah setempat yang kewenangannya hanya sebatas monitoring, legislasi dan anggaran dinilai telah bertindak diluar batas kewenangan.
Persoalan yang menjadi pemicu hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Sula mengeluarkan keputusan kontroversial itu lantaran pendapat ketua Pengadilan Negeri Labuhan, Kabupaten Halmahera Selatan. Bahwa Ridwan Sahlan dianggap melanggar sumpah/janji karena memberikan dana kepada para demostran.
Pelanggaran yang dituduhkan dewan ini sebenarnya jika ditilik tak terlalu beralasan kuat. Mengingat belum ada keputusan jelas dari pengadilan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum tetap. Inti permasalahanya hanyalah soal surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha I. Gab Komang Wijaya Adhi, SH., MH. Surat bernomor : W28-U3/320/UM.01.1/IV/2007, tanggal 19 April 2007. Isinya, memberi penjelasan kepada Bupati Kepulauan Sula H. Ahmad Hidayat Mus, SE., perihal para terpidana kasus kerusuhan Sanana pada 26 Oktober 2006 lalu.
Surat Ketua PN Labuha itu juga merupakan balasan surat Bupati Hidayat Mus. Karena sebelumnya, Bupati pernah mengirimkan surat ke Ketua PN Labuha bernomor : 009/091/2007, tertanggal 11 April 2007. Isi surat Bupati itu meminta penjelasan Ketua PN Labuha atas perkara para terpidana terkait kasus kerusuhan. Ketua PN pun langsung membalas surat Bupati dengan sejumlah keterangan yang kemudian dinilai sejumlah kalangan sangat kontroversial, selain mengutip sedikit muatan materi memori putusan pengadilan.
Namun yang menjadi polemik diberbagai kalangan terutama praktisi hukum, adalah surat balasan tersebut juga memuat pendapat pribadi Ketua PN Labuha yang salah satu poin sub judulnya berbunyi “Pendapat Ketua Pengadilan Negeri” yang menyebut tujuh orang terpidana ditengarai sebagai aktor intelektual kasus kerusuhan pada 26 Oktober 2006. Dasar dari pendapat Ketua PN Labuha ini mengutip keterangan para terdakwa dan saksi yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Labuha. Hasilnya tertuang dalam memori putusan pengadilan. Dari tujuh orang yang disinggung dalam surat Ketua PN Labuha itu, salah satunya adalah Ridwan Sahlan, SH., yang juga wakil bupati sekarang.
Kesalahan keenam dari tujuh orang ini sebagaimana dimaksud Ketua PN Labuha, adalah secara emosional memiliki kedekatan dengan para terdakwa kerusuhan. Sementara Ridwan Sahlan disebut-sebut pernah mengucurkan dana kepada sebuah organisasi lokal di Sula yang terkenal lantang menyuarakan perang terhadap korupsi, yakni Aliansi Pemuda Sula (APS). Pernyataan ketua PN Labuha ini dituangkan pula dalam surat balasannya kepada Bupati.
Pendapat Ketua PN Labuha ini memunculkan beragam komenar. Salah seorang praktisi hukum Muhammad Konoras, SH menilai, pernyataan pribadi Ketua PN Labuha tak layak dimunculkan.
Menurutnya, walau tak secara langsung disebut pendapat hukum, namun pernyataan yang dilontarkan Ketua PN Labuha bisa memicu beragam penafsiran. “Apalagi kapasitasnya selaku Ketua Pengadilan Negeri. Tentu imbasnya sangat fatal, selain statement yang dilontarkan sudah berada di luar memori putusan pengadilan”, terangnya.
Ditengah mencuatnya polemik mempersoalkan surat Ketua PN Labuha, secara diam-diam DPRD Kabupaten Kepulauan Sula langsung merespon dan menggelar rapat paripurna. Buntut rapat tersebut telah menelorkan sebuah keputusan yang secara aklamasi menonaktifkan Wakil Bupati Ridwan Sahlan, SH.
Lucunya, sang Wakil Bupati tak diundang dewan saat paripurna berlangsung. Yang hadir saat itu Bupati Hidayat Mus. Mengingat Hidayat Mus selain sebagai Bupati, juga dirinya selaku Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Kepulauan Sula.
Wakil Bupati Ridwan Sahlan SH., saat dihubungi via hand phone-nya, menyatakan heran. Menurutnya, atas dasar apa dewan melakukan langkah impach terhadap dirinya selaku Wakil Bupati. Sementara surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha sifatnya hanyalah surat biasa.
Selain itu tambah Ridwan, tuduhan yang dialamatkan pada dirinya belum melewati proses pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Tiba-tiba dewan melakukan langkah impachman. “Kan aneh ini. Akhirnya keputusan dewan ini memicu keresahan di kalangan masyarakat Sula secara keseluruhan”, papar Ridwan tegas.
Komentar keras juga terlontar dari M. Husni Sapsuha, anggota presidium yang membidangi informasi dan komunikasi (Infokom) Aliansi Pemuda Sula (APS). Menurutnya, langkah dewan memberhentikan Wakil Bupati adalah sebuah kesalahan besar dalam sejarah pemerintahan di Indonesia khususnya di Kabupaten Kepulauan Sula.
Menurut Edo—sapaan akrab Husni Sapsuha, aturan mana yang dipakai dewan melakukan impachman terhadap Wakil Bupati, serta apa kewenangan dewan menonaktifkan wakil bupati.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang pengangkatan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah memberi isyarat, bila seorang Bupati/Wakil Bupati atau Walikota /Wakil Walikota dianggap melanggar sumpah janji jabatan, maka Dewan selaku lembaga monitoring dan legislasi, hanya sebatas mengajukan kasus tersebut ke Presiden secara tertulis melalui putusan Mahkamah Agung (MA). Barulah keluar keputusan penonaktifan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan DPR.
“Itupun harus melalui putusan pengadilan terlebih dahulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Undang-undang mana yang digunakan dewan. Bagi saya, DPRD Sula baru melek (baru melihat Undang-undang-red)”, sodok Edo. Yang pasti, langkah ini memicu keresahan masyarakat kabupaten paling selatan provinsi Maluku Utara itu.
Rubrik
Politik
Rabu, Oktober 22, 2008
Kronologi Sengketa Pilkada Maluku Utara
KEMELUT Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maluku Utara berawal dari adanya sengketa terkait hasil penghitungan di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat pada November 2007. Setidaknya terdapat dua persoalan utama, yaitu perbedaan jumlah suara dan keberatan terhadap penetapan hasil Pilkada.
Kronologis singkat persoalan Pilkada bermula pada Selasa, 13 November 2007, KPU Provinsi Maluku Utara menggelar rapat pleno yang juga dihadiri oleh para saksi dan Panwas Pilkada. Rapat pleno tersebut deadlock, dan berhenti pada hari Jumat 16 November 2007. Para saksi menyatakan bahwa belum dilakukan rekapitulasi hasil oleh KPUD Malut. Sedangkan KPUD Malut telah melakukan rekapitulasi.
Minggu, 18 November 2007, SK No. 20/kep/2007 tertanggal 16 November 2007, KPUD Maluku Utara mengumumkan pasangan Thaib Armaiyn/Gani Kasuba pemenang pemilihan gubernur yang diusung koalisi PKS, PBB, PKB, PBR dan Partai Demokrat. Perolehan suara, Thaib Armaiyn/Gani Kasuba 179.020 suara, Abdul Gafur/Aburrahim Fabanyo 178.157 suara, Anthony Charles/Amin Drakel 76.117 suara dan Irfan Edyson/Ati Ahmad 45.983 suara.
Senin 19 November 2007 malam KPU Pusat memberhentikan sementara Rahmi Husen (Ketua KPUD Malut) dan Nurbaya Soleman (anggota KPUD). Keduanya diberhentikan sementara karena usulan DPRD Provinsi Maluku Utara, karena dianggap melanggar janji dan sumpah jabatan sebagai anggota KPUD Malut dan keduanya dinilai telah mengabaikan rekomendasi, saran, dan pertimbangan KPU dalam penyelesaian masalah Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur dan selanjutnya diambilalih oleh KPU Pusat.
Kamis 22 November 2007, KPU pusat menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dengan hasil : Thaib Armaiyn/Ghani Kasuba 179.020, Abdul Gafur/Abdurrahim Fabanyo 181.889, Anthony Charles/Amin Drakel 73.610, Irfan Edison/Ati Ahmad 45.983.
Dasar hukum pengambilalihan pelaksanaan Pilkada Malut oleh KPU adalah Pasal 122 Ayat (3) UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pasal itu menyatakan, apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU provinsi dan kabupaten/kota tak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh KPU satu tingkat di atasnya. Menyikapi langkah kontrovesial KPU tersebut, banyak kalangan menyatakan ketidaksepakatan.
Secara umum, ada 2 perspektiv yang akan melekat dalam kasus pilkada Maluku Utara, yakni perspektiv legal fomal dan perspektif sosiologis, dalam hal ini dinamika sosio cultural daerah setempat
Kronologis
Mahkamah Agung telah memutuskan konflik pilkada Malut dengan amar putusan memerintahkan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat dan membatalkan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh KPU. Dalam amar putusannya, MA berpendapat bahwa penerapan Pasal 122 Ayat (1) maupun Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelaksanaan pilkada dalam kasus penghitungan ulang pilkada Malut oleh KPU tidak dapat dibenarkan dan cacat secara yuridis.
Pengambilalihan kewenangan oleh KPU pada dasarnya bertentangan dengan saran atau pertimbangan KPU ke KPUD Malut yang isinya menyarankan bahwa bila rekapitulasi penghitungan terdapat keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara, keberatan itu diajukan ke MA. Karena itu, MA menilai pengambilalihan yang dilakukan oleh KPU mengandung cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan.
Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut dari perintah MA untuk melakukan penghitungan ulang, terdapat dua versi penghitungan ulang, yaitu: versi KPU Malut yang dipimpin oleh Mukhlis Tapitapi (yang diakui keabsahannya oleh KPU Pusat) dan versi KPU Malut yang dipimpin oleh Rahmi Husein (yang diberhentikan KPU Pusat dan tidak diakui keabsahannya oleh KPU Pusat).
Terhadap dua versi penghitungan ulang tersebut dihasilkan dua versi hasil penghitungan yang bertolak belakang. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Mukhlis Tapitapi memenangkan pasangan Abdul Ghafur-Abdurahim Fabanyo. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Rahmi Husein memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba.
Terhadap dua versi hasil penghitungan suara tersebut, Mendagri pada tanggal 26 Februari 2008, mengirimkan surat guna meminta fatwa kepada MA. MA mengeluarkan fatwa tertanggal 10 Maret 2008 untuk menjawab surat Mendagri tersebut. Dalam fatwanya MA menilai penghitungan yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut, yaitu Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman dan Zainuddin Husain telah memenuhi prosedur hukum acara perdata.
Fatwa itu menyebutkan prosedur dan tata cara eksekusi pelaksanaan penghitungan suara mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata, yakni harus didahului dengan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Tinggi dan diikuti dengan penetapan eksekusi. Dalam penghitungan yang dilakukan oleh Ketua KPU Malut Rahmi Husein hadir Ketua Pengadilan Tinggi Malut dan ikut menandatangani hasil penghitungan suara.
Fatwa itu juga didasarkan pada Putusan MA yang menilai pengambilalihan oleh KPU cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan (termasuk di dalamnya surat keputusan penonaktifan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman).
Berdasarkan hasil fatwa tersebut Mendagri berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil rapat kabinet terbatas yang dilakukan guna membahas hal ini memutuskan untuk menyerahkan persoalan Pilkada Malut kepada DPRD Malut. Berdasarkan fatwa MA Mendagri yang menyatakan gubernur terpilih adalah Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba.
Argumentasi atas ketidaksepakatan itu diantaranya: Pertama, tidak benar KPUD Malut tak dapat menjalankan tugasnya. KPUD Malut telah menjalankan tugasnya selama beberapa bulan hingga akhirnya menetapkan hasil Pilkada. Kewenangan tersebut berdasarkan Pasal 9 Ayat 3 Huruf h.
Kedua, tidak satu pasal atau ayat pun yang menyebutkan KPU dapat mengambil alih atau membatalkan keputusan KPUD dalam menetapkan hasil Pilkada. Ketiga, kalaupun dalam melaksanakan tugasnya KPUD mungkin melakukan kekeliruan prosedur atau kesalahan penghitungan suara, tidak dapat dijadikan alasan KPU pusat membatalkan hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan KPUD. Keempat, jika KPU ingin mengambil tindakan, KPU dapat menegur keras atau memberhentikan anggota KPUD. (J. Kristiadi, Pengamat politik, (Harian Kompas, Selasa 04 November 2007).
Ke depan, akan lebih banyak penyelenggaraan Pemilu lainnya, entah itu Pilkada, Pemilu DPR dan DPRD maupun Pilpres. KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tertinggi tentu akan menghadapi beban dan masalah yang lebih berat. Kasus Pilkada Malut harusnya jadi semacam bahan pelajaran agar dalam penyelenggaraan Pemilu lainnya KPU maupun KPUD tetap berjalan pada koridor hukum yang ada. BERBAGAI SUMBER
Rubrik
berita
Suara Sumbang Usai Pelantikan
Meski pelantikan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara telah selesai, namun ada pihak tertentu yang sengaja menghembuskan isu pasangan Abdul Gafur dan Abdurrahim akan menggugat. Benarkah?
SETIAP warga Negara memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hokum. Begitu pula Abdul Gafur dan Abdurrahim Fabanyo, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang kalah pada Pilkada Maluku Utara 2007 lalu. Keduanya dikabarkan akan menggugat keabsahan pelantikan Thaib Armaiyn dan Abdul Gani Kasuba (TA-GK).
Meski begitu Mendagri mengaku, dasar hukum melantik TA-GK sudah jelas. Sengketa Pilkada Maluku Utara di KPU tidak selesai, selanjutnya diselesaikan melalui jalur hukum yakni Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili sengketa Pilkada. “Disini semuanya sudah selesai, karena itu dasarnya sudah jelas. Semua keputusan diambil dengan hati-hati, dan semua telah mengikuti prosedur hukum,” urai Mendagri usai melantik TA-GK di Ternate.
Menanggapi wartawan keinginan pasangan Abdul Gafur dan Abdurrahim Fabanyo berencana memproses kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), Mardiyanto menyatakan, pemerinntah pusat siap menghadapinya. Bahkan Mardiyanto mempersilahkan pihak-pihak yang merasa tidak puas menempuh jalur hukum. Bagi Mardiyanto, pemerintah tetap kokoh pada aturan yang telah dijalankan. “Silahkan saja kalau melalui proses hukum,” tantangnya.
Selain isu adanya gugatan hukum, memang Wakil Ketua Komisi II DPR-RI Sayuti Asyathri dan anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Mustokoweni Murdi menilai pelantikan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba sebagai pasangan Gubernur-Wagub Maluku Utara periode 2008-2013 oleh Mendagri Mardiyanto cacat hukum dan masuk kategori melanggar konstitusi.
Sayuti menyebutkan, dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 169 ayat 1, disebutkan bahwa Presiden mengesahkan pengangkatan gubernur dan wagub dalam waktu tiga bulan setelah diajukan oleh KPU melalui DPRD. Di situ ada kata-kata penetapan dan penetapan dilakukan oleh KPU dalam berita acara. Jadi jika misalnya ada pengesahan terhadap pasangan calon yang tidak sesuai dengan usulan KPU, maka itu jelas pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Bahkan menurut politisi PAN itu, kewenangan menetapkan pasangan terpilih ada pada KPU dan bukan pemerintah. Karena itu, pelantikan yang dilakukan Mendagri tidak sah atau ilegal dan otomatis batal demi hukum. "Dasar hukum apa yang digunakan dalam Keppres tersebut untuk melantik pasangan Thaib-Kasuba," katanya.
Sementara rekan Sayuti, Mustokoweni mengaku terkejut atas keputusan pemerintah yang tiba-tiba melantik pasangan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba karena belum ada titik temu antara Mendagri dan DPR. Sama seperti Sayuti, Mustokoweni mengaku masalah penentuan gubernur terpilih adalah domain KPU dan bukan pemerintah. Sementara menurut KPU, pemenang pilkada di Maluku Utara adalah pasangan Gafur-Fabanyo.
Mustokoweni mengkhawatirkan atas semakin buruknya kondisi keamanan masyarakat di Ternate pasca pelantikan yang dinilai masih bermasalah itu. Karena itu, Komisi II mengagendakan rapat kerja dengan Mendagri Mardiyanto untuk meminta penjelasan tentang langkah-langkah yang telah diambil itu. "Bagaimana pun, untuk mengambil satu keputusan harus didasarkan pada sikap yang bijaksana selain mendasarkan pada aturan hukum yang ada," katanya.
“Serangan” itu tak lantas membuat nyali Mendagri Mardiyanto ciut. Ia tetap mempersilakan bila ada pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan pemerintah yang telah melantik Thaib Armaiyn dan KH Abdul Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode 2008-2013 untuk mengajukan gugatan hukum.
Menurut Mendagri, permasalahan Pilkada Maluku Utara berada dalam ranah hukum karena menyangkut sengketa hasil penghitungan suara. Dengan demikian, yang menguji dan menilai atas permasalahan pilkada serta yang menentukan siapa pemenangnya bukan lagi KPU pusat atau KPU provinsi. Tetap yang menentukan adalah lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung. Di samping sebagai Mendagri, Ia memiliki kewenangan diskresi dalam menentukan siapa kepala daerah yang berhak dilantik.Nah!
Rubrik
berita
Langkah Rekonsiliasi Thaib Armaiyn
Setelah dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur definitive, Thaib Armaiyn dan KH Abdul Gani Kasuba (TA-GK) diminta melakukan rekonsiliasi dengan lawan-lawan politiknya. Akahkah TA-GK akan menempuh langkah itu?
PROVINSI Maluku Utara akhirnya punya gubernur dan wakil gubernur definitive, setelah kurang lebih sebelas bulan terkatung-katung. Pasangan Drs Thaib Armaiyn dan KH Abdul Gani Kasuba (TA-GK) pada Senin 29 September lalu secara resmi dilantik Menteri Dalam Negeri Mardiyanto atas nama Presiden Republik Indonesia sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara definitive periode 2008-2013.
Pelantikan TA-GK berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 085/P/2008 tertanggal 27 September 2008 sekaligus memberhentikan penjabat gubernur Maluku Utara Ir Timbul Pudjianto. Meski sempat dilanda kekhawatiran keamanan, namun pelaksanaan pelantikan pasangan gubernur yang diusung Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKN) itu berjalan lancar.
Dimulai dengan pembukaan sidang istimewa oleh Ketua DPRD Ali Syamsi, dan pembacaan Keputusan Presiden oleh Sekretaris Dewan Provinsi Maluku Utara Abdullah Ibrahim, SIP, dilanjutkan dengan pengesahan dan pengangkatan sekaligus pengambilan sumpah jabatan serta pemasangan tanda jabatan oleh Mendagri.
Usai melantik dan mengambil sumpah gubernur dan wakil gubernur, Mendagri menyampaikan sejumlah hal terkait dasar pelantikan pasangan TAGK oleh pemerintah pusat. Mendagri menjelaskan, pelantikan yang dilakukan atas nama presiden itu, sudah secara hati-hati. Tidak hanya itu, menurut Mendagri, pihaknya turut mendengarkan masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat Maluku Utara, saat kunjungan yang dilakukan pemerintah pusat beberapa waktu sebelumnya. Bahkan telah dilakukan kajian-kajian berbagai aspek, terutama dasar hukumnya.
Bagi Mendagri, persoalan pemilihan gubernur Maluku Utara berada dalam ranah hukum karena ada sengketa hasil perhitungan suara. Karena itu yang memiliki kewenangan menilai dan menguji berada pada lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung, sementara proses itu juga telah selesai, maka dilakukan pelantikan.
Dengan ditetapkannya pasangan gubernur Maluku Utara 2008-2013, maka sudah merupakan kerpercayaan besar yang diberikan rakyat Maluku Utara kepada gubernur yang telah dilantik. Karena kepercayaan itu Mendagri meminta masyarakat mendukung pasangan Thaib Armaiyn dan Abdul Gani Kasuba yang telah dilantik.
Tak hanya meminta masyarakat mendukung pasangan gubernur yang dilantik, Mendagri memberi instruksi TA-GK agar segera melakukan rekonsiliasi, harmonisasi dan konsolidasi. Itu artinya, keduanya pemimpin seluruh rakyat Maluku Utara bukan pemimpin kelompok tertentu. Tujuannya, friksi yang terjadi di masyarakat yang mengganggu kehidupan jalannya pembangunan dan kehidupan social kemasyarakatan segera dieleminir.
Harmonisasi dimaksud Mendagri diantaranya dengan tokoh politik dan masyarakat untuk saling menghormati dan saling menghargai untuk membangun kembali hubungan silaturahmi dan hubungan saling percaya, melupakan masa lalu. Disamping, keduanya dapat menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan, dari pendidikan hingga sosial kemasyarakatan di daerah itu. “Gubernur sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah juga wakil pemerintah pusat di daerah, harus mengkoordinasikan berbagai tugas dan pelaksanaan pembangunan dengan pemerintah kabupaten/kota,” tutur Mendagri.
Yang paling penting kata Mendagri, pengelolaan keuangan daerah selalu harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, mengutamakan pembangunan, mengentaskan kemiskinan serta social ekonomi. Dan sebagai pemimpin yang dipilih melalui pemilihan langsung harus bekerjsama dengan daerah lain di Maluku Utara, termasuk menjalin kerjsama dengan Muspida dan DPRD demi pembangunan kedepan.
Sementara warga Ternate, Maluku Utara tampak antusias menyambut pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih Thaib Armayn dan Gani Kasuba. Bahkan sampai ada yang membatalkan niatnya mudik lebaran ke kampung halaman hanya untuk menyaksikan acara pelantikan itu. Bahkan ada warga Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula nekad datang ke Ternate untuk menyaksikan pelantikan tersebut.
Samlan Umanailo dan Haris Sapsuha, dua warga Kabupaten Kepulauan Sula ini menunda rencana mudik ke kampong mereka karena senang pasangan cagub/cawagub Maluku Utara yang mereka dukung Pilkada lalu dilantik menjadi gubernur/wakil gubernur setelah berlarut-larut selama sekitar sebelas bulan.
Kedua warga asal kabupaten paling jauh di Maluku Utara ini mengaku, tak mengharapkan sesuatu atas dilantiknya pasangan yang mereka dukung. Mereka hanya berharap, pasangan Thaib/Gani akan memenuhi janjinya untuk menyejahterakan rakyat sesuai janji pada saat kampanye. Tapi Usman, warga Ternate yang pada Pilkada lalu mendukung pasangan Abdul Gafur dan Abdurrahim Fabanto, justeru mengaku kecewa dengan pelantikan TA-GK.
Meski ada kekecewaan masyarakat atas kekalahan figurnya pada Pilkada lalu, bagi sebagian masyarakat itu merupakan hal yang biasa dalam politik. Bahkan Mendagri meminta agar semua pihak berpikir jernih untuk kembali membangun Maluku Utara yang hampir setahun terbengkalai karena sengketa Pilkada. “Situasi normal dan tenang sebetulnya diharapkan oleh semua masyarakat," ujarnya.
Apalagi kata Mendagri, keputusan pemerintah melantik Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara sudah berdasarkan pemikiran yang mempertimbangkan proses hukum. "Kita punya dasar dan norma untuk mengambil keputusan itu," tegasnya.
Karena itu, Gubernur dan wakil gubernur yang telah dilantik segera bekerja dan merangkul semua lapisan masyarakat untuk membangun Maluku Utara. Mendagri juga meminta semua pihak untuk tidak memperpanjang masalah sengketa pilkada di Maluku Utara dan memberikan kesempatan pada Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara yang baru dilantik untuk melanjutkan pembangunan di Maluku Utara.
Rubrik
berita
Selasa, Oktober 21, 2008
Macetnya Kebudayaan
Agus SB*)
Tulisan ini lahir dari tesis yang provokatif dari Dr. Cornelis Lay. Dalam Kata Pengantarnya untuk buku yang ditulis Syaiful Bahri Ruray, “Menjemput Perubahan” (Juni, 2007), Lay mengatakan tentang Maluku Utara kurang lebih sbb: “sebuah wilayah yang dahulunya pernah gemilang kini, dengan keadaannya saat ini, tidak mungkin lagi mencapai masa kegemilangannya seperti beberapa abad silam”. Saya merasa, tesis Lay ini menantang tapi juga mencibir masyarakat dan pemerintah daerah Maluku Utara karena kemacetan kebudayaannya. Saya tidak akan mengulas tesis Cornelis Lay itu, silahkan pembaca menyimaknya dalam buku Syaiful Bahri Ruray tersebut sehingga mengetahui secara tepat apa yang ia maksudkan “masa kegemilangan” pada beberapa abad silam, dan mengapa itu terjadi. Di sini, saya menanggapi tesis itu sebagai petunjuk abstrak mengenai kemacetan kebudayaan manusia Maluku Utara. Sebab potensi kebudayaan memungkinkan manusianya memanfaatkan, mengubah dan melestarikan potensi sumber daya alamnya dan dengan cara itu manusia dapat survive dan kreatif mengembangkan peradabannya.Tema kemacetan kebudayaan, tentu saja, bukan sebuah domain sederhana yang dapat diperbincangkan tuntas dalam sebuah tulisan yang sederhana dalam ruang datar terbatas ini. Saya hanya akan mengangkat beberapa fakta dari pengamatan saya dalam beberapa perjalanan di Maluku Utara, dan dari fakta sejarah prilaku ekonomi masyarakat Maluku Utara yang bersumber dari tulisan amntenar Belanda, W.P. Coolhaas. Bukan data statistik penduduk dengan beragam kegiatan ekonominya, bukan pula angka produksi dari setiap kegiatan ekonomi yang dikeluarkan badan statistik. Fakta-fakta yang saya gunakan (mungkin) tampak sepele dan mungkin tidak memuaskan, tetapi kiranya menjadi indikasi awal dan permukaan tentang “kemacetan kebudayaan” dimaksud. Saya pun hanya mengajukan perspektif untuk memahami lebih jauh dan dalam mengenai tema ini.
**
Keberagaman etnik dan budaya di Maluku Utara dan beragam potensi sumber daya alamnya (laut dan darat) mengisyaratkan adanya beragam potensi yang dapat menjadi mesin kemajuan pembangunan bangsa Maluku Utara dalam berbagai bidang. Masyarakatnya hidup di atas berbagai potensi sumber daya alam (SDA) itu. Dengan perangkat kebudayaannya (pengetahuan, etos kerja, ketrampilan, teknologi, organisasi sosial masyarakat di satu pihak; dan kebijakan, peraturan dan program pembangunan dari pemerintah di pihak lain), mengeksploitasi SDA, mengembangkan kebudayaan ekspresif seperti kesenian dan ekspresi religiusitas. Unsur-unsur potensil pada alam dan budaya itu dieksploitasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasariah mereka, sebagian dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga dan sebagian dipasarkan. Namun, faktanya tidak seindah imajinasi teoritis ini. Potensi alam yang dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebudayaan mereka, faktanya tidak mengalami perkembangan sehingga relatif tidak membantu menaikkan tingkat kehidupan ekonomi dan peradaban mereka. Kemacetan kebudayaan ini dapat dideskripsikan secara sederhana dengan mengacu pada fakta sejarah dan keadaan kekinian :
Usaha Perikanan Laut. W.P. Coolhaas, dalam usianya yang baru 16 tahun saat itu, telah ditempatkan dan bekerja di wilayah Maluku Utara pada tahun 1920-an. Coolhaas yang pernah menetap di Ternate, Soa Sio Tidore kemudian Bacan itu, bercerita (“Pengalaman seorang Amtenar Muda di Maluku”, dalam Van Der Wal, 2001:72-115) tentang; masyarakat pengrajin tembikar di pulau Mare, pengrajin atau pandai besi di Toloa Tidore, para nelayan tangkap ikan di Tidore, perdagangan damar yang dilakukan oleh orang Galela, Tobelo, orang Amasing dan Makian di Bacan, telah ada pada saat ia bertugas di Maluku Utara.
Ia berkisah. Suatu ketika, sekitar tigaratusan nelayan Tidore dengan perahunya menjual hasil tangkapannya di Manado, Sulawesi Utara. Sepulang dari sana, mereka disambut dengan sorak sorak bergembira di pantai oleh anak, istri dan keluarga. Mereka datang dengan mengenakan pakaian baru dan membawa jumlah uang yang banyak. Coolhaas yang saat itu menagih pajak sebanyak satu gulden, oleh seorang nelayan diberikan empat gulden dari hasil penjualan ikannya. Nelayan itu berkata kepada Coolhaas bahwa, satu gulden itu tidak cukup. Coolhaas terperanjat, karena setelah itu kawan-kawan si nelayan tadi masing-masing memberinya sebanyak empat gulden. Coolhaas tidak mengomentari apapun mengenai sikap baik para nelayan itu, demikian halnya juga dengan jenis mata pencaharian masyarakat di atas. Namun dari catatannya pula, dapat diinterpretasi bahwa kegiatan perekonomian di atas telah berlangsung jauh sebelum Coolhaas bertugas di Maluku Utara. Ia tidak menyaksikan sesuatu yang baru muncul ketika ia tiba di Maluku Utara, tetapi menyaksikan sesuatu yang telah ada sebelumnya hingga kedatangannya.
Fakta sejarah di atas, tentu saja menyinggung hanya sisi indah dari keseluruhan cerita (story) tentang penaklukan dan dominasi kaum kolonial di Maluku Utara. Apa yang ingin disampaikan adalah, usaha ekonomi yang dilakoni warga Maluku Utara di atas, hingga kini masih kita temukan. Bagi mereka yang seringkali berkeliling di Maluku Utara dapat memberikan kesimpulan sendiri setelah membaca fakta historis di atas dan fakta yang sama (kegiatan ekonomi) di masa lalu itu hingga kini masih eksis, keadaannya tak beranjak meningkat secara kualitatif dan kuantitatif.
Pada awal tahun 2003, saya mendapati di desa Geti Baru, Bacan barat, hanya satu orang dan bukan orang Galela, orang Bacan atau orang Makian yang menetap di sana, yang trampil membuat dan memiliki beberapa buah bagang ikan. Di Geti Baru, juga terdapat usaha kecil-kecilan mengeksploitasi ubur-ubur putih. Itupun pemilik modalnya konon dari Surabaya.
Usaha penangkapan ikan di Tidore memang tampak sedikit maju dari segi teknologi penangkapan dan di Bacan terdapat perusahaan ikan, tetapi para nelayan di Dufa-Dufa Ternate tidak lebih dari nelayan tradisional yang tidak mudah memenuhi kebutuhan warga pulau dan kota Ternate.
Ketrampilan Tangan (Handicraft). Sekitar tahun 2003 itu juga, setiba di pelabuhan Sofifi, saya melihat ratusan ikat rotan yang ditegakkan berdiri, dikeringkan di pantai. Kata seorang warga Sofifi ketika itu, rotan-rotan itu akan dikirim ke luar Maluku Utara. Kasus serupa terjadi di Doro, Gane Barat. Jangankan tidak menjual rotan ke luar Maluku Utara, warga di sana bercerita bahwa potensi rotan di hutan pinggiran kebun-kebun mereka juga banyak tetapi tidak tahu mau diapakan rotan itu, dan memanfaatkannya hanya untuk membuat saloi dan atau tali pengikat.
Beberapa kerajinan tangan (handicraft) seperti topi tolu, saloi mini dan sosiru dari bahan bambu untuk hiasan dengan desain terlalu sederhana, saya pernah melihatnya di dalam pasar sayur Ternate yang tampaknya kurang laku. Kerajinan tangan serupa juga pernah saya membelinya di pasar Goto Tidore sebagai doho-doho ke Makassar. Orang Tobaru di Sofifi pernah memberi saya wadah paludi, seperti saloi dari pelepah pohon sagu berbentuk kerucut, dan dari seorang warga Moti saya membeli sebuah saloi rotan. Hingga kini saya masih merawatnya sebagai hiasan.
Kaitan dengan kegiatan pandai besi di Toloa, saya belum pernah melihat ketersediaan peralatan modern dan bahan besi yang melimpah untuk para pandai besi ini sehingga dapat berproduksi lebih dari sekadar memproduksi parang. Tumpukan besi yang relatif melimpah justru terdapat di Daruba Morotai Selatan dan beberapa tempat lainnya di sana tetapi tidak dimanfaatkan menjadi sesuatu yang produktif, karena tidak terdapat industri rumah tangga seperti pandai besi di Toloa yang dapat mengolah tinggalan Tentara sekutu dan Jepang yang kini sia-sia itu. Hanya terdapat pengrajin besi putih di Daruba, dimana saya pernah mengunjunginya. Mereka ini pun telah mengeluhkan soal bahan besi putih yang makin berkurang.
Produsen keramik untuk peralatan dapur yang digeluti orang Mare dan telah masuk dalam catatan Coolhaas juga mengalami nasib serupa. Hingga kini tidak beranjak lebih jauh pada tingkat yang lebih kreatif sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen untuk kebutuhan yang lebih beragam, misalnya, keramik untuk hiasan dalam ruang tamu. Potensi yang tersia-siakan oleh pemerintah daerahnya.
Menurut kawan saya, Saiful Madjid, yang melakukan penelitian tesis di komunitas Togutil di Wasiley, damar yang merupakan salah satu bahan dasar untuk melukis pola batik pada kain, tampaknya bukan kekayaan yang produktif bagi warga tempatan di sana disebabkan ketiadaan informasi, kesulitan fasilitas transportasi, dan tidak tersedia jaringan perdagangan sehingga tidak dapat mengakses pasar, seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta yang merupakan salah satu pusat industri pakaian batik di Indonesia.
Kebudayaan Ekspresif dan Religiusitas. Telah dikatakan bahwa, keberagaman etnik dan budaya mengisyaratkan adanya beragam potensi kultural, termasuk unsur kesenian. Tetapi bidang kesenian ini, sebagai kebudayaan ekspresif, pun mengalami nasib serupa. Musik bambu tada di Halmahera Barat, Suling bambu (yangeree) di Halmahera Utara, Togal, Cakalele, dan jenis tarian lainnya yang dimiliki komunitas-komunitas di Maluku Utara merupakan keragaman potensi berkesenian yang luar biasa kaya dibandingkan dengan masyarakat homogen dari segi etnik yang cenderung memiliki unsur kesenian yang sama dan tunggal. Masalahnya, disamping ketiadaan upaya menghidupkan, juga tidak tersedianya sumber daya manusia dan lembaga yang sesuai dengan bidang tersebut untuk dihidupkan dan direproduksi, dibiakkan secara kreatif. Disamping sebagai ekspresi identitas pendukungnya, dalam logika industri pariwisata yang kapitalis, justru dapat menambah PAD dan pendapatan bagi warga pendukung kesenian tersebut.
Pertanian. Sektor ini menyedihkan.. Dalam amatan saya, petani di Maluku Utara memiliki kecenderungan homogen dalam pola bertani dan pilihan jenis tanaman tahunan, seperti; coklat, kelapa, pala, dan cengkeh. Kegiatan pertanian terutama berpusat pada perladangan. Tidak ada yang salah dengan pola berpikir dan bertanam yang cenderung homogen demikian. Masalahnya jenis tanaman palawija seperti sayuran, bumbu dapur seperti tomat, cabe dan sebagainya yang dibutuhkan sehari-harinya cenderung diabaikan atau sedikit dari warga masyarakat yang menanam hanya untuk konsumsi sendiri. Itu pun kalau demikian yang terjadi. Labu atau sambiki, Sawi, wortel, bawang merah dan putih, nyaris semuanya didatangkan dari Sulawesi Utara. Demikian halnya produksi padi. Meskipun kita beruntung adanya para transmigran Jawa yang memproduksi padi, tetapi hanya segelintir penduduk lokal yang mengusahakan padi sawa seperti di Daeo, Morotai Selatan dan Sangowo di Morotai Timur. Hal ini boleh jadi berkaitan dengan keadaan tanah, iklim, pengetahuan dan ketrampilan warga masyarakat serta kebijakan pertanian dari pemerintah.
***
Pada saat yang sama, Maluku Utara yang tidak dapat mengelak dari kondisi globalisasi ekonomi dan kebudayaan saat ini, dikepung oleh produk industri modern seperti perabotan rumah tangga (dari kursi, meja, keramik pajangan, hingga wadah air minum dan sendok) dari plastik hingga besi dengan berbagai model, kualitas dan jumlah. Dikepung berbagai jenis kesenian modern yang membawa nilai-nilai dari kebudayaan yang tak lagi beralamat akibat globalisasi budaya dan ekonomi. Sebagian orang Maluku Utara juga sangat bernafsu menggunakan batik dari Jawa sehingga terkesan dikoloni oleh batik Jawa. Tetapi kita tidak pernah menawarkan damar kepada produsen batik di Jawa, apalagi mau mengaji peninggalan corak batik daerah sendiri untuk kemudian diproduksi dan dipersaingkan di pasaran.
Dengan sedikit perbandingan lintas budaya, kita akan lebih mengerti di mana letak kemacetan kebudayaan (prilaku) ekonomi itu terjadi. Kurang lebih sepuluh bulan, saya hidup bersama sebuah komunitas adat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana, seorang warga yang saya kenal dekat, dapat menghidupi, setidaknya memberikan pendapatan kepada warga lainnya selama waktu bekerja, antara 15 sampai 30 orang ketika ia memperoleh orderan atau pesanan. Baru-baru ini, yang bersangkutan memperoleh orderan piringan untuk sayuran dan buah-buahan yang terbuat dari bambu sebanyak 40 ribu buah yang nantinya dikirim ke Bekasi. Ia mempekerjakan sekitar 15 orang dalam komunitasnya dengan waktu satu bulan harus selesai.
Di komunitas itu, saya mengamati tidak hanya piringan, tetapi satu unsur potensi alam yang sama, bambu, yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, dapat diubah menjadi pengalas menu panas, kap lampu, kerei (tirai penahan sinar matahari), keranjang, dengan teknik dasarnya anyaman. Pasarnya tidak hanya Bekasi, Yogyakarta, Jakarta, tetapi menjangkau Malaysia, Amerika dan Eropa. Fakta ini jelas berkebalikan dengan prilaku ekonomi warga Maluku Utara. Di Maluku Utara, sejauh saya dapat mengamatinya, relatif tidak adanya kreatifitas yang dapat mereproduksi satu bahan yang sama, seperti bambu, menjadi artefak lain yang nilai ekonomisnya dijamin oleh mutu dan ketersediaan pasar (permintaan).
****
Mengapa kebudayaan kita mengalami kemacetan? Di atas sedikit telah disinggung penyebab dari kemacetan kebudayaan kita. Tetapi ditegaskan lagi di sini. Kita dapat membaca kemacetan kebudayaan Maluku Utara dari dua arah; pertama, perspektif internalis yang melihat dimensi internal (inner world) manusia (masyarakat) yakni berupa pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan moralitas yang membentuk etos kerja yang mendasari kreatifitas dan produktifitas kebudayaan sebuah masyarakat. Kedua, perspektif eksternalis, melihat dimensi eksternal dari masyarakat seperti kepemimpinan politik, struktur (aturan, birokrasi), pasar dan teknologi sebagai yang mendasari kreatifitas dan produktifitas kebudayaan masyarakat. Keduanya tidak akan dibahas secara detail dan hanya secara garis besar.
Jika kemacetan kebudayaan kita dilatari faktor dunia internal (inner world) manusia, itu berarti etos kerja kita rendah atau kurang mendukung bagi terciptanya kreatifitas dan produktifitas dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya ekonomi. Masyarakat Maluku Utara bukanlah bangsa yang tidak beragama dan hampa nilai-nilai budaya. Agama, nilai-nilai dan moralitas yang bersumber dari tradisi budaya menjadi sumber potensil bagi tumbuhkembangnya etos kerja sebuah masyarakat. Ini telah dibuktikan oleh Robert N Bellah di Jepang, C.Geertz di Jawa, pencetus teori n-Ach, Mclelland dan telah sangat lama digemakan oleh Max Weber.
Jika seseorang menganggap bahwa masyarakat Maluku Utara itu malas dan pasif dalam hidup maka, logikanya, setidaknya kreatifitas kultural mereka telah lama punah. Faktanya budaya ekonomi dan kebudayaan ekspresif mereka masih eksis meskipun jalan di tempat. Mereka hanya, sekali lagi, tampaknya mengalami kemacetan dalam pengertian lemahnya kreatifitas dan produktifitas untuk mencipta, mengembangkan dan meningkatkan sesuatu (handicraft, bertani, nelayan dan berdagang) baik yang telah ada maupun diciptakan, secara kualitatif dan kuantitatif. Ini tidak lantas berarti bahwa kelemahan itu disebabkan etos kerja mereka.
Masalah kemacetan budaya ini harus juga dilacak pada dimensi eksternal masyarakat. Saya menyadari, dalam perjalanan sejarah masyarakat Maluku Utara tidak dapat dilepaskan dari kondisi-kondisi historis yang melumpuhkan dan berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan dan peradabannya, seperti penjajahan, perubahan sistem politik dan pemerintahan, konflik antar elit politik di masa lalu, krisis politik dan ekonomi, serta konflik elit daerah dan konflik SARA tahun 1999 hingga tahun 2000.
Namun, kepemimpinan politik daerah, peraturan dan kebijakan pemerintah, birokrasi, program dan kebijakan pembangunan daerah, semuanya menyumbang terhadap berkembang atau meningkat dan atau jalan di tempatnya kehidupan sebuah masyarakat. Apakah kepemimpinan politik dari aktor, peraturan, kebijakan dan program yang dibuatnya serta bekerjanya aparatus birokrasi yang dipimpinnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak atau semata untuk kepentingan elit politik dan kelompoknya saja, seperti fenomena politik klientistik. Misalnya, kebijakan dan program pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan yang diberikan kepada warga masyarakat untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas, seperti kreatifitas mereka menciptakan hasil kerajinan tangan yang telah ada, sekaligus membantu membudidayakan bahan bakunya, membantu permodalan (finansial dan teknologi tepat guna), serta membuka aksesibilitas mereka terhadap pasar di luar Maluku Utara; “pemberdayaan ekonomi rakyat”.
Demikian pula, kebijakan dan program yang ditujukan untuk membantu masyarakat dalam bidang pertanian sehingga petani tidak hanya berhenti pada menanam dan menjual, tetapi juga menanam, mengolah dan menjualnya ke dalam dan ke luar Maluku Utara. Dalam konteks ini pula, budaya kuiliner yang tecermin dalam kebiasaan makan kita, juga tidak direproduksi menjadi komoditi untuk wisata kuiliner misalnya. Andalan Bagea, padahal di luar Maluku Utara, Bagea kelapa maupun kenari dikenal justru dari Manado. Aneh. Bahkan ada kesan sombong ketika sebagian orang meremehkan “popeda” dan sebaliknya bangga mengonsumsi makanan instan dan siap saji yang bagi orang terdidik tidak akan dikonsumsi karena kurang bergizi dan membahayakan kesehatan akibat bahan kimiawinya. Keseluruhan fakta kemacetan budaya tersebut menimbulkan dugaan; jangan-jangan bukan kelangkaan sumber daya alam dan manusia yang dihadapi Maluku Utara, tetapi “kelangkaan niat baik” para penentu dan pembuat kebijakan pembangunan daerah.
Mana dari kedua perspektif di atas yang didukung oleh kenyataan faktual, sangat bergantung pada pembuktian lapangan dari para akademisi yang sedemikian banyak di beberapa perguruan tingggi di Maluku Utara. Satu hal yang dapat dikemukakan di sini, kedua dimensi di atas tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya disebabkan eksisnya satu dimensi mengandaikan dukungan dimensi lainnya. Keduanya saling mendukung (interplay).
Akhirnya, sangat bergantung pada tanggapan kita terhadap tantangan dari dunia internal maupun eksternal yang melingkupi kita yang menentukan maju atau sebaliknya memacetkan peradaban Maluku Utara (lihat Arnold Toynbee,1972). Tanggapan atas tantangan itu menentukan keberlanjutan peradaban, dan dengan demikian kehidupan kita selanjutnya; apakah tanggapan dan tantangan itu melahirkan sintesis yang cerdas ataukah malah kehidupan kita makin terpuruk justru ketika kita menggenggam otonomi daerah.
Pengajar pada STAIN dan Fisip UMMU Ternate, masih belajar antropologi di UGM
Rubrik
Opini
Investasi 10 Triliun Siap Masuk Haltim
BUMI Halmahera memang benar-benar menggiurkan bagi dunia pertambangan. Pasalnya setelah PT Weda By Nickel berencana membangun pabriknya di Weda Halmahera Tengah, kini PT Antam Tbk, salah satu BUMN yang dimiliki pemerintah, berencana membangun pabrik pengolahan feronickel di Halmahera Timur. Rencana ini disampaikan terbuka dalam pemaparan dan perencanaan pembangunan yang disampaikan pihak PT Antam Tbk di depan jajaran Dewan Kabupaten dan Pemkab Haltim di Hotel Mandarin Oreintal Jakarta.
Wartawan Malut Post, Mahmud Ici melaporkan dari Jakarta, dalam pemaparan tersebut, PT Antam melalui Tato Miraza Kepala Proyek Pengembangan Nickel menjelaskan detail rencana tersebut.
Dijelaskannya, rencana pembangunan yang bekerjasama dengan perusahaan tambang Australia dibawah bendera BHP BILLITON itu akan menginvestasikan dana kurang lebih antara 750 juta US dollar hingga 1 miliar US dolar, yang bila dikonversi ke dalam rupiah mencapai Rp 10 triliun. Tato mengaku rencana pembangunan pabrik ini, merupakan pabrik nickel terpadu, dengan menggunakan standar dunia. Bahkan kata Tato, kegiatan PT Antam di Haltim ini nantinya akan menjadi perusahaan terbesar didunia dengan kapasitas produksi per tahun mencapai 100 ribu ton nickel. “Dengan investasi yang begitu besar tentunya akan menjadi lahan baru bagi pencipataan lapangan pekerjaan,” kata Tato.
Di depan Bupati Haltim Wilhelmus Tahalele dan unsure Muspida lainnya, PT Antam berjanji menjadikan Haltim sebagai mesin pertumbuhan baru dibidang pertambangan di Indonesia Timur.
PT Antam yang didiirikan pada 1968 dan go public tahun 1997 memang saat ini masih orientasi nickel ekspor. Tetapi untuk Halmahera Timur, pembangunannya sudah pabrik ferronickel dan proyek hdirometalurgi. Bahkan Pulau Obi juga akan menjadi sasaran karena memang cadagan nikelnya cukup besar. “Untuk pembangunan pabrik di Haltim itu adalah rencana jangka panjang Antam dan sudah masuk dalam kitab Antam,” jelas Tato. Dalam kesempatan itu turut dijelaskan pusat pusat nickel yang dikenal dengan dengan sabuk nickel mulai Sulawesi, Maluku Utara hingga ke Papua.
Karena berbagai rencana itu pihak Antam juga juga membutuhkan pemerintah daerah sebagai partner untuk memaksmialkan sumberdaya yang ada. Partner itu katanya tidak hanya pemerintah tetapi juga menggunakan tenaga kerja yang terampil untuk mengelola secara baik sumberdaya yang ada. “Dengan partner itu resource itu akan dipakai secara maksimal,” cetusnya. Ditempat yang sama dijelaskan lagi prencanaan pabrik maupun berbagai resiko yang dihadapi. Termasuk proses alih tekhnologi yang memang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pula tenaga ahli.
Bahkan dalam penjelasan itu Antam sebagai perusahaan pemerintah dalam posisi aktif. dengan pemain global memimpikan pembangunan pabrik di Haltim itu seperti Petronas-nya Malaysia. Atas semua rencana itu, mereka meminta dukungan pemerintah daerah, diantaranya perlunya adanya perubahan areal dari semula hanya kuasa pertambangan (KP) menjadi kontrak karya (KK). “Antam membutuhkan perubahan dari legalitas hukum soal ijin tidak lagi dalam bentuk KP tetapi Kontrak Karya sehingga kerjsama dengan Billiton memiliki dasar hukum yang kuat,” kata Tato lagi.
Sementara untuk rencana 2007 ini juga dilakukan finalisasi agreement dengan BHP Billiton Australia . Dia juga turut memaparkan rencana studi pembangunan pabrik dilaksanakan sampai 2008 sekaligus persiapan pendanaan. Sementara konstruksi pabrik akan dilaksanakan kuartal ke IV 2009. Dan untuk star komercial direncanakan 20012 pada kuartal ke empat. Dengan kebutuhan tenaga kerja pengoperasian tekhnis pabrik 700 orang, dan diharapkan multi efek pengoperasionalnya antara 4 sampai lima kali dari jumlah tenaga kerja yang ada. Untuk fisibility study sendiri akan dilaksanakan 2011, termasuk memikrikan alih tekhnolgi yang digunakan untuk pengolahan pabrik ini yang paling moderen dengan resiko yang minim.
Usai pemaparan, Setdakab Haltim Musa Djamaludin mempertanyakan rencana pembangunan parbrik tersebut apakah tahap wacana ataukah sudah pada kesimpulan final. Sebab katanya selama ini kebanyakan yang dilakukan itu hanya dalam bentuk wacana.
Menanggapi hal ini, Direktur Umum dan SDM Ir Syahril Ika mengaku, jika rencana ini sudah final dan akan ditindaklanjuti. Sebab yang disampaikan itu merupakan rencana Antam kedepan. “Kita tidak pada tahap wacana lagi apalagi sudah ada pembicaraan dan pihak Billiton. Ini antar Negara. Kalau tahap wacana kan malu dong perusahaan pemerintah,”cetusnya.
Wartawan Malut Post, Mahmud Ici melaporkan dari Jakarta, dalam pemaparan tersebut, PT Antam melalui Tato Miraza Kepala Proyek Pengembangan Nickel menjelaskan detail rencana tersebut.
Dijelaskannya, rencana pembangunan yang bekerjasama dengan perusahaan tambang Australia dibawah bendera BHP BILLITON itu akan menginvestasikan dana kurang lebih antara 750 juta US dollar hingga 1 miliar US dolar, yang bila dikonversi ke dalam rupiah mencapai Rp 10 triliun. Tato mengaku rencana pembangunan pabrik ini, merupakan pabrik nickel terpadu, dengan menggunakan standar dunia. Bahkan kata Tato, kegiatan PT Antam di Haltim ini nantinya akan menjadi perusahaan terbesar didunia dengan kapasitas produksi per tahun mencapai 100 ribu ton nickel. “Dengan investasi yang begitu besar tentunya akan menjadi lahan baru bagi pencipataan lapangan pekerjaan,” kata Tato.
Di depan Bupati Haltim Wilhelmus Tahalele dan unsure Muspida lainnya, PT Antam berjanji menjadikan Haltim sebagai mesin pertumbuhan baru dibidang pertambangan di Indonesia Timur.
PT Antam yang didiirikan pada 1968 dan go public tahun 1997 memang saat ini masih orientasi nickel ekspor. Tetapi untuk Halmahera Timur, pembangunannya sudah pabrik ferronickel dan proyek hdirometalurgi. Bahkan Pulau Obi juga akan menjadi sasaran karena memang cadagan nikelnya cukup besar. “Untuk pembangunan pabrik di Haltim itu adalah rencana jangka panjang Antam dan sudah masuk dalam kitab Antam,” jelas Tato. Dalam kesempatan itu turut dijelaskan pusat pusat nickel yang dikenal dengan dengan sabuk nickel mulai Sulawesi, Maluku Utara hingga ke Papua.
Karena berbagai rencana itu pihak Antam juga juga membutuhkan pemerintah daerah sebagai partner untuk memaksmialkan sumberdaya yang ada. Partner itu katanya tidak hanya pemerintah tetapi juga menggunakan tenaga kerja yang terampil untuk mengelola secara baik sumberdaya yang ada. “Dengan partner itu resource itu akan dipakai secara maksimal,” cetusnya. Ditempat yang sama dijelaskan lagi prencanaan pabrik maupun berbagai resiko yang dihadapi. Termasuk proses alih tekhnologi yang memang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pula tenaga ahli.
Bahkan dalam penjelasan itu Antam sebagai perusahaan pemerintah dalam posisi aktif. dengan pemain global memimpikan pembangunan pabrik di Haltim itu seperti Petronas-nya Malaysia. Atas semua rencana itu, mereka meminta dukungan pemerintah daerah, diantaranya perlunya adanya perubahan areal dari semula hanya kuasa pertambangan (KP) menjadi kontrak karya (KK). “Antam membutuhkan perubahan dari legalitas hukum soal ijin tidak lagi dalam bentuk KP tetapi Kontrak Karya sehingga kerjsama dengan Billiton memiliki dasar hukum yang kuat,” kata Tato lagi.
Sementara untuk rencana 2007 ini juga dilakukan finalisasi agreement dengan BHP Billiton Australia . Dia juga turut memaparkan rencana studi pembangunan pabrik dilaksanakan sampai 2008 sekaligus persiapan pendanaan. Sementara konstruksi pabrik akan dilaksanakan kuartal ke IV 2009. Dan untuk star komercial direncanakan 20012 pada kuartal ke empat. Dengan kebutuhan tenaga kerja pengoperasian tekhnis pabrik 700 orang, dan diharapkan multi efek pengoperasionalnya antara 4 sampai lima kali dari jumlah tenaga kerja yang ada. Untuk fisibility study sendiri akan dilaksanakan 2011, termasuk memikrikan alih tekhnolgi yang digunakan untuk pengolahan pabrik ini yang paling moderen dengan resiko yang minim.
Usai pemaparan, Setdakab Haltim Musa Djamaludin mempertanyakan rencana pembangunan parbrik tersebut apakah tahap wacana ataukah sudah pada kesimpulan final. Sebab katanya selama ini kebanyakan yang dilakukan itu hanya dalam bentuk wacana.
Menanggapi hal ini, Direktur Umum dan SDM Ir Syahril Ika mengaku, jika rencana ini sudah final dan akan ditindaklanjuti. Sebab yang disampaikan itu merupakan rencana Antam kedepan. “Kita tidak pada tahap wacana lagi apalagi sudah ada pembicaraan dan pihak Billiton. Ini antar Negara. Kalau tahap wacana kan malu dong perusahaan pemerintah,”cetusnya.
Seni Budaya, Wisata Unggulan Halmahera Barat
KABUPATEN Halmahera Barat adalah salah satu kabupaten yang berada Provinsi Maluku Utara. Secara geografis kabupaten ini terletak di antara 1o-3o Lintang Utara dan 123o-128o Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten ini terdiri dari 11.623.42 Km2 wilayah laut dan 22,346 Km2 wilayah darat dan memiliki sejumlah pulau-pulau kecil yang sangat indah. Pulau-pulau itu terdiri dari 123 pulau yang dua diantaranya berpenghuni sedangkan yang lainnya merupakan pulau tanpa pemghuni.
Halmahera Barat dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam suku/etnis yang cukup tinggi. Suku-suku ini terbagi menjadi dua, yaitu suku asli dan suku pendatang. Suku asli di daerah ini adalah suku Sahu, Suku Ternate, suku Wayoli, suku Gorap, suku Loloda dan suku Gamkonora, sementara suku pendatang antara lain suku Sangier, suku Makian, suku Ambon, suku Tidore, suku Jawa dan suku Gorontalo. Dengan Kondisi tersebut memberikan Kosentrasi pada keragaman bahasa, adat istiadat dan tradisi masyarakat di kabupaten paling barat pulau Halmahera ini.
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, tentunya Halmahera Barat memiliki keragaman obyek wisata dan daya tarik yang patut diancungi jempol. Sebagai aset derah, obyek wisata di kabupaten Halmahera Barat sebagiannya sudah dikelola oleh pemerintah kabupaten. Aset wisata yang sudah dikelola ini diantaranya sebagian wisata tirta, wisata seni dan budaya, dan wisata sejarah. Sedangkan aset wisata lainnya seperti wisata alam, wisata agro, wisata fauna dan sebagian wisata tirta masih dalam program perencanaan pengembangan wisata oleh pemkab Halbar.
Salah satu aset wisata yang diunggulkan adalah seni dan budaya khususnya adat istiadat suku-suku yang tumbuh dan sangat dipelihara oleh masing-masing suku di kabupaten ini.
Adalah lembah Sahu, lembah yang dapat ditempuh lewat jalur darat sepanjang 15 Km dari ibukota kabupaten setelah melewati pintu masuk pelabuhan Ternate menuju pelabuhan Jailolo. Lembah yang sejak dahulu kala sangat memanjakan penghuninya dengan kekayaan alam yang melimpah ruah ini dihuni oleh masyarakat suku Sahu yang memiliki intensitas adat istiadat yang cukup tinggi.
Secara administrasi masyarakat suku ini dibagi atas dua daerah pemekaran, yakni kecamatan Sahu Barat dan Sahu Timur.Walaupun secara administratif kecamatan ini sudah terbagi dalam dua wilayah yang berbeda namun adat istiadat suku ini tetap terjaga dan menjadi satu kesatuan yang kokoh.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya sasa’du (rumah adat suku Sahu) di setiap kampong-kampong (desa-desa) yang terdapat di dua kecamatan tersebut, bahkan di kecamatan Jailolo juga terdapat beberapa rumah adat yang tetap berdiri kokoh di tengah-tengah perkampungan masyarakat.
Dengan adanya sasa’du di kampong-kampong ini menandakan bahwa kampong tersebut didiami oleh masyarakat yang berasal dari suku Sahu dan menjunjung tinggi adat istiadat suku mereka.
Berdasarkan sejarah, suku Sahu pada mulanya bernama Jio Jepung Malamo yang kemudian berganti nama menjadi Sahu. Nama ini adalah nama suku yang diberikan oleh sultan Ternate. Pergantian nama ini bermula ketika sangaji (orang yang memerintah suku ini) dipanggil menghadap sultan Ternate. Pada waktu sangaji bertemu dengan sultan, is sedang makan sahur makanan beliau pun berkata dalam bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur,jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu” yang artinya “karena kau sangaji datang pada waktu sultan sedang makan sahur, maka kemudian hari ini kau akan mendirikan daerahmu dan namailah sahu.
Pada zaman kesultanan Ternate sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu memiliki dua kelompok kerja yaitu Tala’i dan Pa’disua. Kedua kelompok ini memiliki kewajiban yang diberikan oleh sultan Ternate untuk berbakti dan membawa upeti kepada kesultanan Ternate. Asal muasal kedua nama kelompok ini, yaitu ketika agama Islam disebarkan oleh sultan Ternate di daratan Halmahera, kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman lembah Sahu ini tidak menyambut dan mendengarkan panggilan sultan yang pada saat itu menyebarkan agama Islam. Kelompok ini tidak terpengaruh karena kepercayaan mereka terhadap agama suku masih sangat kuat, kelompok ini disebut Pa’dus ua yang artinya dipanggil tapi tidak menyahut. Sedangkan kelompok yang menyambut maksud kedatangan sultan disebut tala;i yang artinya berhadapan (berhadapan dengan sultan).
Walaupun kelompok Pa’dus ua tidak menyahut panggilan sultan di saat beliau menyebarkan agama Islam, kelompok ini tetap mengabdi kepada kesultanan Ternate. Perbedaan kelompok suku ini juga membedakan dialektika tutur bahasa masing-masing kelompok yang terkenal dengan bahasa sahu dialek Pa’dus ua dan bahasa Sahu dialek Tala’i.
Struktur pemerintahan suku Sahu
Struktur pemerintahan suku Sahu pada zaman kejayaan sultan, suku ini dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut Walasae, dibawa walasae ada seorang panglima yang disebut kapita/momole, kemudian dibawah kapita ada walangotom (prajurit yang selalu siap siaga mendengar komando dari kapita dalam hal ini pertahanan keamanan). Kemudian ada Jou Ma Bela (kaum masyarakat yang bertugas membawa upeti kepada sultan Ternate).Di bawah Jou Ma bela ada guru yang bertugas dalam hal keagamaan yang didampingi oleh khalifa, dan yang paling terakhir adala ngofa repe sebutan kepada masyarakat kampong, ,sedangkan di atas struktur ini ada lembaga kesultanan yang disebut babato madopolo dan sultan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan yang terkenal dengan nama Maloku Kie Raha hingga sekarang.
Struktur masyarakat ini pada akhirnya berubah, perubahannya yaitu fomanyira (pemimpin desa) memiliki kedudukan tertinggi dan bertugas mengatur kehidupan dan kesejahteraan bala rakyat. Di bawah fomanyira ada sebuah institusi masyarakat yang disebut gam ma kale yang terdiri dari wala sae dan wala ngotom yang tugasnya mengatur dan menegakan hukum adat serta syukuran atas hasil panen pertanian mereka Di bawa gam ma kale ada baba masohi sebutan kepada tua-tua kampong yang bertugas mendampingi Gam Ma Kale dalam hal penegakan hukum adat, dan yang paling terenakhir adalah ngoa repe atau masyaakat kampong.
Kehidupan sosial suku Sahu sejak dahulu kala sudah memahami bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Hal inilah yang mendorong masyarakat ini membentuk kelompok-kelompok kerja baik untuk keperluan kerajaan Ternate maupun kegiatan kemasyarakatan untuk mencapai tujuan tertentu.
Kegiatan gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang. Pada lingkungan keluarga biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Misalnya kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga mereka, upacara pemakaman, dan acara-acara keluarga lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk kelompok kerja yang disebut rion-rion. Kelompok ini biasanya setiap anggota mempunyai tujuan yang sama, misalnya berkebun, mengolah hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut.
Masyarakat suku Sahu memiliki berbagai macam budaya suku, seperti adat istiadat dalam melaksanakan upacara perkawinan,upacara pemakaman,adat istiadat dalam pembagian harta,serta budaya sasa’du (upacara pada rumah adat). RANWARD NGITU
Rubrik
wisata
Langganan:
Postingan (Atom)