Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara dinonaktifkan DPRD setempat. Dasar hukumnya, pendapat pribadi Ketua Pengadilan Negeri Labuha.
PENONAKTIFAN Wakil Bupati Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara Ridwan Sahlan, SH, membuat gempar semua pihak di daerah itu, bahkan hingga ke seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara. Betapa tidak, DPRD daerah setempat yang kewenangannya hanya sebatas monitoring, legislasi dan anggaran dinilai telah bertindak diluar batas kewenangan.
Persoalan yang menjadi pemicu hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Sula mengeluarkan keputusan kontroversial itu lantaran pendapat ketua Pengadilan Negeri Labuhan, Kabupaten Halmahera Selatan. Bahwa Ridwan Sahlan dianggap melanggar sumpah/janji karena memberikan dana kepada para demostran.
Pelanggaran yang dituduhkan dewan ini sebenarnya jika ditilik tak terlalu beralasan kuat. Mengingat belum ada keputusan jelas dari pengadilan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum tetap. Inti permasalahanya hanyalah soal surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha I. Gab Komang Wijaya Adhi, SH., MH. Surat bernomor : W28-U3/320/UM.01.1/IV/2007, tanggal 19 April 2007. Isinya, memberi penjelasan kepada Bupati Kepulauan Sula H. Ahmad Hidayat Mus, SE., perihal para terpidana kasus kerusuhan Sanana pada 26 Oktober 2006 lalu.
Surat Ketua PN Labuha itu juga merupakan balasan surat Bupati Hidayat Mus. Karena sebelumnya, Bupati pernah mengirimkan surat ke Ketua PN Labuha bernomor : 009/091/2007, tertanggal 11 April 2007. Isi surat Bupati itu meminta penjelasan Ketua PN Labuha atas perkara para terpidana terkait kasus kerusuhan. Ketua PN pun langsung membalas surat Bupati dengan sejumlah keterangan yang kemudian dinilai sejumlah kalangan sangat kontroversial, selain mengutip sedikit muatan materi memori putusan pengadilan.
Namun yang menjadi polemik diberbagai kalangan terutama praktisi hukum, adalah surat balasan tersebut juga memuat pendapat pribadi Ketua PN Labuha yang salah satu poin sub judulnya berbunyi “Pendapat Ketua Pengadilan Negeri” yang menyebut tujuh orang terpidana ditengarai sebagai aktor intelektual kasus kerusuhan pada 26 Oktober 2006. Dasar dari pendapat Ketua PN Labuha ini mengutip keterangan para terdakwa dan saksi yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Labuha. Hasilnya tertuang dalam memori putusan pengadilan. Dari tujuh orang yang disinggung dalam surat Ketua PN Labuha itu, salah satunya adalah Ridwan Sahlan, SH., yang juga wakil bupati sekarang.
Kesalahan keenam dari tujuh orang ini sebagaimana dimaksud Ketua PN Labuha, adalah secara emosional memiliki kedekatan dengan para terdakwa kerusuhan. Sementara Ridwan Sahlan disebut-sebut pernah mengucurkan dana kepada sebuah organisasi lokal di Sula yang terkenal lantang menyuarakan perang terhadap korupsi, yakni Aliansi Pemuda Sula (APS). Pernyataan ketua PN Labuha ini dituangkan pula dalam surat balasannya kepada Bupati.
Pendapat Ketua PN Labuha ini memunculkan beragam komenar. Salah seorang praktisi hukum Muhammad Konoras, SH menilai, pernyataan pribadi Ketua PN Labuha tak layak dimunculkan.
Menurutnya, walau tak secara langsung disebut pendapat hukum, namun pernyataan yang dilontarkan Ketua PN Labuha bisa memicu beragam penafsiran. “Apalagi kapasitasnya selaku Ketua Pengadilan Negeri. Tentu imbasnya sangat fatal, selain statement yang dilontarkan sudah berada di luar memori putusan pengadilan”, terangnya.
Ditengah mencuatnya polemik mempersoalkan surat Ketua PN Labuha, secara diam-diam DPRD Kabupaten Kepulauan Sula langsung merespon dan menggelar rapat paripurna. Buntut rapat tersebut telah menelorkan sebuah keputusan yang secara aklamasi menonaktifkan Wakil Bupati Ridwan Sahlan, SH.
Lucunya, sang Wakil Bupati tak diundang dewan saat paripurna berlangsung. Yang hadir saat itu Bupati Hidayat Mus. Mengingat Hidayat Mus selain sebagai Bupati, juga dirinya selaku Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Kepulauan Sula.
Wakil Bupati Ridwan Sahlan SH., saat dihubungi via hand phone-nya, menyatakan heran. Menurutnya, atas dasar apa dewan melakukan langkah impach terhadap dirinya selaku Wakil Bupati. Sementara surat Ketua Pengadilan Negeri Labuha sifatnya hanyalah surat biasa.
Selain itu tambah Ridwan, tuduhan yang dialamatkan pada dirinya belum melewati proses pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Tiba-tiba dewan melakukan langkah impachman. “Kan aneh ini. Akhirnya keputusan dewan ini memicu keresahan di kalangan masyarakat Sula secara keseluruhan”, papar Ridwan tegas.
Komentar keras juga terlontar dari M. Husni Sapsuha, anggota presidium yang membidangi informasi dan komunikasi (Infokom) Aliansi Pemuda Sula (APS). Menurutnya, langkah dewan memberhentikan Wakil Bupati adalah sebuah kesalahan besar dalam sejarah pemerintahan di Indonesia khususnya di Kabupaten Kepulauan Sula.
Menurut Edo—sapaan akrab Husni Sapsuha, aturan mana yang dipakai dewan melakukan impachman terhadap Wakil Bupati, serta apa kewenangan dewan menonaktifkan wakil bupati.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang pengangkatan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah memberi isyarat, bila seorang Bupati/Wakil Bupati atau Walikota /Wakil Walikota dianggap melanggar sumpah janji jabatan, maka Dewan selaku lembaga monitoring dan legislasi, hanya sebatas mengajukan kasus tersebut ke Presiden secara tertulis melalui putusan Mahkamah Agung (MA). Barulah keluar keputusan penonaktifan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan DPR.
“Itupun harus melalui putusan pengadilan terlebih dahulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Undang-undang mana yang digunakan dewan. Bagi saya, DPRD Sula baru melek (baru melihat Undang-undang-red)”, sodok Edo. Yang pasti, langkah ini memicu keresahan masyarakat kabupaten paling selatan provinsi Maluku Utara itu.
Jumat, Oktober 24, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar