Rabu, Oktober 22, 2008
Kronologi Sengketa Pilkada Maluku Utara
KEMELUT Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maluku Utara berawal dari adanya sengketa terkait hasil penghitungan di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat pada November 2007. Setidaknya terdapat dua persoalan utama, yaitu perbedaan jumlah suara dan keberatan terhadap penetapan hasil Pilkada.
Kronologis singkat persoalan Pilkada bermula pada Selasa, 13 November 2007, KPU Provinsi Maluku Utara menggelar rapat pleno yang juga dihadiri oleh para saksi dan Panwas Pilkada. Rapat pleno tersebut deadlock, dan berhenti pada hari Jumat 16 November 2007. Para saksi menyatakan bahwa belum dilakukan rekapitulasi hasil oleh KPUD Malut. Sedangkan KPUD Malut telah melakukan rekapitulasi.
Minggu, 18 November 2007, SK No. 20/kep/2007 tertanggal 16 November 2007, KPUD Maluku Utara mengumumkan pasangan Thaib Armaiyn/Gani Kasuba pemenang pemilihan gubernur yang diusung koalisi PKS, PBB, PKB, PBR dan Partai Demokrat. Perolehan suara, Thaib Armaiyn/Gani Kasuba 179.020 suara, Abdul Gafur/Aburrahim Fabanyo 178.157 suara, Anthony Charles/Amin Drakel 76.117 suara dan Irfan Edyson/Ati Ahmad 45.983 suara.
Senin 19 November 2007 malam KPU Pusat memberhentikan sementara Rahmi Husen (Ketua KPUD Malut) dan Nurbaya Soleman (anggota KPUD). Keduanya diberhentikan sementara karena usulan DPRD Provinsi Maluku Utara, karena dianggap melanggar janji dan sumpah jabatan sebagai anggota KPUD Malut dan keduanya dinilai telah mengabaikan rekomendasi, saran, dan pertimbangan KPU dalam penyelesaian masalah Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur dan selanjutnya diambilalih oleh KPU Pusat.
Kamis 22 November 2007, KPU pusat menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dengan hasil : Thaib Armaiyn/Ghani Kasuba 179.020, Abdul Gafur/Abdurrahim Fabanyo 181.889, Anthony Charles/Amin Drakel 73.610, Irfan Edison/Ati Ahmad 45.983.
Dasar hukum pengambilalihan pelaksanaan Pilkada Malut oleh KPU adalah Pasal 122 Ayat (3) UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pasal itu menyatakan, apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU provinsi dan kabupaten/kota tak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh KPU satu tingkat di atasnya. Menyikapi langkah kontrovesial KPU tersebut, banyak kalangan menyatakan ketidaksepakatan.
Secara umum, ada 2 perspektiv yang akan melekat dalam kasus pilkada Maluku Utara, yakni perspektiv legal fomal dan perspektif sosiologis, dalam hal ini dinamika sosio cultural daerah setempat
Kronologis
Mahkamah Agung telah memutuskan konflik pilkada Malut dengan amar putusan memerintahkan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat dan membatalkan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh KPU. Dalam amar putusannya, MA berpendapat bahwa penerapan Pasal 122 Ayat (1) maupun Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelaksanaan pilkada dalam kasus penghitungan ulang pilkada Malut oleh KPU tidak dapat dibenarkan dan cacat secara yuridis.
Pengambilalihan kewenangan oleh KPU pada dasarnya bertentangan dengan saran atau pertimbangan KPU ke KPUD Malut yang isinya menyarankan bahwa bila rekapitulasi penghitungan terdapat keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara, keberatan itu diajukan ke MA. Karena itu, MA menilai pengambilalihan yang dilakukan oleh KPU mengandung cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan.
Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut dari perintah MA untuk melakukan penghitungan ulang, terdapat dua versi penghitungan ulang, yaitu: versi KPU Malut yang dipimpin oleh Mukhlis Tapitapi (yang diakui keabsahannya oleh KPU Pusat) dan versi KPU Malut yang dipimpin oleh Rahmi Husein (yang diberhentikan KPU Pusat dan tidak diakui keabsahannya oleh KPU Pusat).
Terhadap dua versi penghitungan ulang tersebut dihasilkan dua versi hasil penghitungan yang bertolak belakang. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Mukhlis Tapitapi memenangkan pasangan Abdul Ghafur-Abdurahim Fabanyo. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Rahmi Husein memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba.
Terhadap dua versi hasil penghitungan suara tersebut, Mendagri pada tanggal 26 Februari 2008, mengirimkan surat guna meminta fatwa kepada MA. MA mengeluarkan fatwa tertanggal 10 Maret 2008 untuk menjawab surat Mendagri tersebut. Dalam fatwanya MA menilai penghitungan yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut, yaitu Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman dan Zainuddin Husain telah memenuhi prosedur hukum acara perdata.
Fatwa itu menyebutkan prosedur dan tata cara eksekusi pelaksanaan penghitungan suara mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata, yakni harus didahului dengan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Tinggi dan diikuti dengan penetapan eksekusi. Dalam penghitungan yang dilakukan oleh Ketua KPU Malut Rahmi Husein hadir Ketua Pengadilan Tinggi Malut dan ikut menandatangani hasil penghitungan suara.
Fatwa itu juga didasarkan pada Putusan MA yang menilai pengambilalihan oleh KPU cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan (termasuk di dalamnya surat keputusan penonaktifan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman).
Berdasarkan hasil fatwa tersebut Mendagri berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil rapat kabinet terbatas yang dilakukan guna membahas hal ini memutuskan untuk menyerahkan persoalan Pilkada Malut kepada DPRD Malut. Berdasarkan fatwa MA Mendagri yang menyatakan gubernur terpilih adalah Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba.
Argumentasi atas ketidaksepakatan itu diantaranya: Pertama, tidak benar KPUD Malut tak dapat menjalankan tugasnya. KPUD Malut telah menjalankan tugasnya selama beberapa bulan hingga akhirnya menetapkan hasil Pilkada. Kewenangan tersebut berdasarkan Pasal 9 Ayat 3 Huruf h.
Kedua, tidak satu pasal atau ayat pun yang menyebutkan KPU dapat mengambil alih atau membatalkan keputusan KPUD dalam menetapkan hasil Pilkada. Ketiga, kalaupun dalam melaksanakan tugasnya KPUD mungkin melakukan kekeliruan prosedur atau kesalahan penghitungan suara, tidak dapat dijadikan alasan KPU pusat membatalkan hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan KPUD. Keempat, jika KPU ingin mengambil tindakan, KPU dapat menegur keras atau memberhentikan anggota KPUD. (J. Kristiadi, Pengamat politik, (Harian Kompas, Selasa 04 November 2007).
Ke depan, akan lebih banyak penyelenggaraan Pemilu lainnya, entah itu Pilkada, Pemilu DPR dan DPRD maupun Pilpres. KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tertinggi tentu akan menghadapi beban dan masalah yang lebih berat. Kasus Pilkada Malut harusnya jadi semacam bahan pelajaran agar dalam penyelenggaraan Pemilu lainnya KPU maupun KPUD tetap berjalan pada koridor hukum yang ada. BERBAGAI SUMBER
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar